Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Kamis, 03 Januari 2013
Ukhuwah Islamiah, Sebuah Dilema
Kita tahu bahwa kaum mukminin itu
bersaudara, innamal-mukminuna-ikhwatun. Jadi siapa saja yang seiman,
bersaudara. Inilah yang menjadi ikatan utama : sama-sama percaya kepada Allah,
mengakui bahwa Muhammad itu Rosulullah, al-Qur’an itu Kitabullah, melaksanakan
puasa, sholat, menunaikan zakat, haji
bagi yang sudah mampu berhaji dan lain sebagainya. Semua adalah muslim, semua
adalah mukmin.
Islam, di dalam istilah “ukhuwah islamiah”
disitu berarti faham kecenderungan kepada Tuhan. Sehingga, persoalan siapa saja
yang termasuk di dalamnya menjadi suatu persoalan besar yang telah menyibukkan
para pemikir Islam, semenjak abad-abad pertama sejarahnya hingga sekarang.
Ukhuwah Islamiah pernah mewujud dalam
proyek al-muakhkha, yakni penyaudaraan yang dilakukan Rosulullah ketika
beliau sampai di Madinah, di antara Muhajirin dan Anshar, meskipun demikian,
karena alasan syari’ah dibatalkan. Tetapi ide ukhuwah itu, tentu saja, tidak
dihapuskan melainkan mengambil bentuk lain. Jadi innamal mukminuna ikhwatun di
sini berarti ikhwah dalam iman, ukhuwah imaniah.
Ukhuwah islamiah, jelas, adalah istilah
yang cukup qur’ani. Meskipun di dalam al-Qur’an sendiri tidak disebutkan
perkataan “ukhuwah islamiah”. Namun demikian, istilah tersebut bisa dilihat
sebagai berdasarkan semangat dari Firman : Innamal-mukminuna-ikhwatun, bahwa
sesungguhna setiap yang beriman itu bersaudara. Namun demikian, meskipun
istilah tersebut sudah cukup islami, akan tetapi masih banyak konflik yang
terjadi diantara ummat Islam itu sendiri, terutama dari mereka yang fanatik
terhadap kelompok tertentu disebabkan oleh adanya beberapa perbedaan-perbedaan
pendapat yang pada hakikatnya merupakan sunnatullah, meskipun mereka telah
mengaku Muslim. Lalu bagaimana untuk menyikapi hal ini ?.
Baiklah, saya akan memulainya dengan
melihat kembali pada sejarah peradaban Islam itu sendiri, bahwasanya perbedaan-perbedaan
itu muncul ke permukaan semenjak terjadinya pembunuhan Usman dan peperangan Ali
dan lain-lain (Aisyah dan Mu’awiyah). Hal itulah yang kemudian menimbulkan
golongan syi’ah (syi’atu Ali, berarti partai Ali). Semula istilah itu bersifat
netral sekali, yakni kelompok Ali, begitu saja. Tapi kemudian ia menjadi
istilah yang sarat sekali dengan ideologi. Kaum Syi’ah ini cenderung
menganggap, bahwa yang bukan golongan mereka adalah kafir. Sedang kaum Umayyah
juga mengkafirkan Ali. Bani Umayyah waktu itu memang hanya mengakui Abu Bakar,
Umar, dan Usman. Sebaliknya, Syi’ah, Cuma mengakui Ali. Kita tahu, bahwa
kemudian muncul dari kelompok Ali yang memisahkan diri, disebut Khawarij,
disebabkan kekecewaan mereka terhadap Ali yang mau mengadakan kompromi dengan
Muawiyyah.
Nah, sejak itu ada suatu momen yang di
dalamnya sejarah Islam dihitamkan oleh gejala kafir-mengkafirkan sesama Muslim
antar kelompok tertentu. Rumusan tentang siapa Muslim dan siapa kafir, pada
waktu itu, menjadi ekstrem sekali. Dari fitnah tersebut kemudian merangsang
orang untuk memikirkannya, sebetulnya apa itu Islam. Siapa yang harus dianggap
sebagai Muslim? Kemudian tampillah Abdullah bin Umar, putra Umar bin
al-Khattab. Abdullah ini berkepribadian kuat, bersifat sangat intelektualistik
yang dari semula ia mencurahkan perhatiannya kepada aspek ajaran Islam ini. Dia
melihat mengapa orang sibuk dengan peperangan, dengan bunuh-membunuh antar
sesama Islam, padahal semuanya telah bersyahadat. Karena itu ia kemudian
berpendapat bahwa semua pertentangan yang terjadi bukanlah persoalan Islam
melainkan persoalan politik, persoalan Imamah. Maka Abdullah, sebagai seorang
netralis, mengembangkan intelektualisme Islam pada masa-masa paling awal dalam
sejarah Islam. Dia inilah bapak kaum ulama yang merintis terbentuknya
institusi-institusi keulamaan yang ada sampai sekarang ini. Sebelum itu belum
ada ulama. Kemudian dia tampil dengan konsep jama’ah, yang berdiri di atas
semua golongan.
Menurutnya, semua orang Islam itu satu, jama’atun
wahidah, tidak peduli apakah dia itu seorang Khariji, Syi’i ataukah umawi. Jadi
di sini yang penting bukanlah persatuan formal, melainkan ukhuwah dalam arti tasamuh
(toleran), saling mengerti, saling menghargai dan saling menghormati
perbedaan yang ada yang sesuai dengan semangat jama’ah.
Hemat saya, tak ada
keberatan pada adanya berbagai kelompok. Biarkan mereka ber-fastabiqul
khairat. Sebab memang, perbedaan antara sesama manusia harus disadari
sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan
masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan sebagai
kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang
sehat merupakan rahmat bagi manusia. Biarkan proses ini berjalan hingga
dicapainya suatu titik pertemuan (kalimah sawa’ ).
Dalam menyikapi perbedaan,
maka kita harus melihat kembali kepada salah satu aspek penting ajaran-ajaran
al-Qur’an tentang manusia adalah, bahwa manusia tidak dibenarkan untuk
mengklaim kebenaran hanya bagi dirinya yang, salah-salah, bisa menjurus kepada
kemusyrikan. Orang seperti ini bisa menjadi thagut atau tiran, oleh sikap
memaksakan pikiran atau kemauan sendiri yang bersumber dari perasaan benar
sendiri. Maka disinilah letak pentingnya konsep musyawarah. Perintah musyawarah
begitu kuat ditekankan di dalam al-Qur’an. Bahkan Nabi sendiri, di luar
tugasnya menyampaikan wahyu, diperintahkan untuk bermusyawarah.
“bermusyawarahlah
dengan mereka dalam segala perkara” (Ali-Imran : 159)
Diterjemahkan dengan
“segala perkara”, karena al-amr adalah lil-jinsi (untuk/kata ganti
jenis), artinya untuk semua perkara. Konsep musyawarah ini bersifat amat
penting, dan prinsipil sekali. Kenapa mesti musyawarah? Sebab, manusia yang
diberi wewenang, adalah makhluk yang terbatas dan relatif yang tidak mengetahui
secara pasti mana yang benar. Oleh karena itu, manusia bisa melakukan
kesalahan. Supaya kesalahan itu bisa ditekan hingga sesedikit mungkin, kita
diperintahkan untuk bermusyawarah. Yang benar secara mutlak itu memang hanya
Allah. sehubungan dengan itu, lalu timbul ungkapan ra’sul hikmah al-masyurah
bahwa pokok pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah. Juga ada ungkapan lain
yang menurut saya patut untuk dijadikan bahan renungan yaitu yang dikemukakan
oleh A. Mustofa Bisri dalam bukunya yang berjudul Mencari Bening Mata Air “
kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar,
hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar”. Wallahu a’lam bis showab.
Label:
Ukhuwah Islamiah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.