Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Kamis, 03 Januari 2013


Ukhuwah Islamiah, Sebuah Dilema

Kita tahu bahwa kaum mukminin itu bersaudara, innamal-mukminuna-ikhwatun. Jadi siapa saja yang seiman, bersaudara. Inilah yang menjadi ikatan utama : sama-sama percaya kepada Allah, mengakui bahwa Muhammad itu Rosulullah, al-Qur’an itu Kitabullah, melaksanakan puasa, sholat, menunaikan zakat,  haji bagi yang sudah mampu berhaji dan lain sebagainya. Semua adalah muslim, semua adalah mukmin.

Islam, di dalam istilah “ukhuwah islamiah” disitu berarti faham kecenderungan kepada Tuhan. Sehingga, persoalan siapa saja yang termasuk di dalamnya menjadi suatu persoalan besar yang telah menyibukkan para pemikir Islam, semenjak abad-abad pertama sejarahnya hingga sekarang.


Ukhuwah Islamiah pernah mewujud dalam proyek al-muakhkha, yakni penyaudaraan yang dilakukan Rosulullah ketika beliau sampai di Madinah, di antara Muhajirin dan Anshar, meskipun demikian, karena alasan syari’ah dibatalkan. Tetapi ide ukhuwah itu, tentu saja, tidak dihapuskan melainkan mengambil bentuk lain. Jadi innamal mukminuna ikhwatun di sini berarti ikhwah dalam iman, ukhuwah imaniah.

Ukhuwah islamiah, jelas, adalah istilah yang cukup qur’ani. Meskipun di dalam al-Qur’an sendiri tidak disebutkan perkataan “ukhuwah islamiah”. Namun demikian, istilah tersebut bisa dilihat sebagai berdasarkan semangat dari Firman : Innamal-mukminuna-ikhwatun, bahwa sesungguhna setiap yang beriman itu bersaudara. Namun demikian, meskipun istilah tersebut sudah cukup islami, akan tetapi masih banyak konflik yang terjadi diantara ummat Islam itu sendiri, terutama dari mereka yang fanatik terhadap kelompok tertentu disebabkan oleh adanya beberapa perbedaan-perbedaan pendapat yang pada hakikatnya merupakan sunnatullah, meskipun mereka telah mengaku Muslim. Lalu bagaimana untuk menyikapi hal ini ?.

Baiklah, saya akan memulainya dengan melihat kembali pada sejarah peradaban Islam itu sendiri, bahwasanya perbedaan-perbedaan itu muncul ke permukaan semenjak terjadinya pembunuhan Usman dan peperangan Ali dan lain-lain (Aisyah dan Mu’awiyah). Hal itulah yang kemudian menimbulkan golongan syi’ah (syi’atu Ali, berarti partai Ali). Semula istilah itu bersifat netral sekali, yakni kelompok Ali, begitu saja. Tapi kemudian ia menjadi istilah yang sarat sekali dengan ideologi. Kaum Syi’ah ini cenderung menganggap, bahwa yang bukan golongan mereka adalah kafir. Sedang kaum Umayyah juga mengkafirkan Ali. Bani Umayyah waktu itu memang hanya mengakui Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebaliknya, Syi’ah, Cuma mengakui Ali. Kita tahu, bahwa kemudian muncul dari kelompok Ali yang memisahkan diri, disebut Khawarij, disebabkan kekecewaan mereka terhadap Ali yang mau mengadakan kompromi dengan Muawiyyah.

Nah, sejak itu ada suatu momen yang di dalamnya sejarah Islam dihitamkan oleh gejala kafir-mengkafirkan sesama Muslim antar kelompok tertentu. Rumusan tentang siapa Muslim dan siapa kafir, pada waktu itu, menjadi ekstrem sekali. Dari fitnah tersebut kemudian merangsang orang untuk memikirkannya, sebetulnya apa itu Islam. Siapa yang harus dianggap sebagai Muslim? Kemudian tampillah Abdullah bin Umar, putra Umar bin al-Khattab. Abdullah ini berkepribadian kuat, bersifat sangat intelektualistik yang dari semula ia mencurahkan perhatiannya kepada aspek ajaran Islam ini. Dia melihat mengapa orang sibuk dengan peperangan, dengan bunuh-membunuh antar sesama Islam, padahal semuanya telah bersyahadat. Karena itu ia kemudian berpendapat bahwa semua pertentangan yang terjadi bukanlah persoalan Islam melainkan persoalan politik, persoalan Imamah. Maka Abdullah, sebagai seorang netralis, mengembangkan intelektualisme Islam pada masa-masa paling awal dalam sejarah Islam. Dia inilah bapak kaum ulama yang merintis terbentuknya institusi-institusi keulamaan yang ada sampai sekarang ini. Sebelum itu belum ada ulama. Kemudian dia tampil dengan konsep jama’ah, yang berdiri di atas semua golongan.



Menurutnya, semua orang Islam itu satu, jama’atun wahidah, tidak peduli apakah dia itu seorang Khariji, Syi’i ataukah umawi. Jadi di sini yang penting bukanlah persatuan formal, melainkan ukhuwah dalam arti tasamuh (toleran), saling mengerti, saling menghargai dan saling menghormati perbedaan yang ada yang sesuai dengan semangat jama’ah.

Hemat saya, tak ada keberatan pada adanya berbagai kelompok. Biarkan mereka ber-fastabiqul khairat. Sebab memang, perbedaan antara sesama manusia harus disadari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat merupakan rahmat bagi manusia. Biarkan proses ini berjalan hingga dicapainya suatu titik pertemuan (kalimah sawa’ ).
Dalam menyikapi perbedaan, maka kita harus melihat kembali kepada salah satu aspek penting ajaran-ajaran al-Qur’an tentang manusia adalah, bahwa manusia tidak dibenarkan untuk mengklaim kebenaran hanya bagi dirinya yang, salah-salah, bisa menjurus kepada kemusyrikan. Orang seperti ini bisa menjadi thagut atau tiran, oleh sikap memaksakan pikiran atau kemauan sendiri yang bersumber dari perasaan benar sendiri. Maka disinilah letak pentingnya konsep musyawarah. Perintah musyawarah begitu kuat ditekankan di dalam al-Qur’an. Bahkan Nabi sendiri, di luar tugasnya menyampaikan wahyu, diperintahkan untuk bermusyawarah.
            “bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala perkara” (Ali-Imran : 159)
Diterjemahkan dengan “segala perkara”, karena al-amr  adalah lil-jinsi (untuk/kata ganti jenis), artinya untuk semua perkara. Konsep musyawarah ini bersifat amat penting, dan prinsipil sekali. Kenapa mesti musyawarah? Sebab, manusia yang diberi wewenang, adalah makhluk yang terbatas dan relatif yang tidak mengetahui secara pasti mana yang benar. Oleh karena itu, manusia bisa melakukan kesalahan. Supaya kesalahan itu bisa ditekan hingga sesedikit mungkin, kita diperintahkan untuk bermusyawarah. Yang benar secara mutlak itu memang hanya Allah. sehubungan dengan itu, lalu timbul ungkapan ra’sul hikmah al-masyurah bahwa pokok pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah. Juga ada ungkapan lain yang menurut saya patut untuk dijadikan bahan renungan yaitu yang dikemukakan oleh A. Mustofa Bisri dalam bukunya yang berjudul Mencari Bening Mata Air “ kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar, hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar”. Wallahu a’lam bis showab.



0 komentar: