Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Senin, 12 November 2012


Posisi Dan Fungsi al-Hadits Terhadap al-Qur’an

Posisi al-Hadits adalah sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian masalah-masalah yang sudah ada dalilnya di dalam al-Qur’an, maka al-Hadits tidak dibutuhkan untuk menjelaskan akan tetapi apabila di dalam al-Qur’an belum ada penjelasan atau kurang dimengerti penjelasannya dan ayat tersebut masih bersifat umum, maka fungsi al-Hadits disini adalah untuk menjelaskan atau menguatkan masalah-masalah yang kurang jelas di dalam nash al-Qur’an tersebut.

Berikut ini sdalah fungsi al-Hadits sebagi sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, diantaranya adalah :
1.      Bayan Taqrir
Bayan taqrir adalah posisi al-Hadits sebagai penguat (taqrir) hukum yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an. Seperti larangan berdusta, Allah SWT. Berfirman :

فا جتنبوا الرجس من الأوثن واجتنبوا قول الزور                                                                  

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (QS Al-Hajj : 30)

Kemudian Rosulullah SAW dalam sabdanya menguatkan ketetapan hukum yang termaktub dalam firman Allah tersebut. Beliau bersabda :

عن عبد الرحمن بن ابى بكرة عن ابيه رضي الله عنه قال : قال النبي ص م : الآ انبئكم بأكبر الكبائر ثلاثا قالوا بلى يا رسول الله, قال الشراك با الله و عقوق الوالدين و جلس وكان متكئا فقال الآ وقول الزور (روه البخرى)

Dari Abdurrohman Bin Abi Bakroh dari ayahnya ra. Dia berkata : Nabi SAW Bersabda : “maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar?” (Rosulullah mengulanginya sampai tiga kali). Para sahabat menjawab : “mau wahai Rosulullah”. Rosulullah SAW bersabda :”menyekutukan Allah dan durhaka kepada dua orang tuanya, saat itu Rosulullah sedang bersandar lalu beliau bersabda : “awas, jauhilah perkataan dusta” (HR. al-Bukhori)


2.      Bayan Tafsir
      Bayan tafsir adalah posisi al-Hadits sebagai penjelas terhadap ayat al-Qur’an yang masih bersifat global. Pada umumnya, fungsi inilah yang banyak dipakai dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an. Ada  tiga macam dalam memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
a.       Tafsir al-Mujmal
      Dalam posisinya, yaitu hadits memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (tafsir al-Mujmal = memperinci yang global), baik menyengkut masalah ibadah maupun hukum. Jadi, disini al-Hadits berfungsi sebagai penjelas ulang ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya perintah sholat dalam al-Qur’an yang tanpa disertai petunjuk bagaimana cara untuk mendirikan sholat, berapa rakaat dalam sehari, kapan harus dilaksanakan, rukun dan syaratnya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, bisa dicontohkan dengan salah satu al-Hadits Nabi, misalnya saja yang disebutkan dalam sabdanya :
                                                                                                                                                           
صلوا كما رأيتمونى أصلي                                                                                

Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat (HR. Al-Bukhori)

b.      Takhshihsh al-‘Amm
      Disini al-Hadits berfungsi sebagai mengkhusukan ayat-ayat al-Qur’an yang umum. Misalanya saja ayat yang menerangkan tentang waris :

يو صيكم الله في أولدكم صلى للذكر مثل حظ الأنثيين                                                  

Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (QS. An-Nisa’ : 11)

Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta terhadap para ahli waris, baik anak lelaki, perempuan dan lain sebagainya. Ayat di atas masih bersifat umum, kemudian dikhusukan dengan hadits Nabi yang melarang mewarisi harta peningglan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh. Yaitu sebagaimana dalam sabda-Nya :

لا يرث القاتل                                                                                                

Pembunuh tidak dapat mewarisi harta pusaka. (HR. At-Tirmidzi)

c.       Taqyid al-Muthlaq
      Yaitu fungsi hadits yang membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam artian bahwa keterangan yang ada dalam al-Qur’an yang bersifat mutlak, kemudian ditakhsish dengan keterangan al-Hadits yang khusus. Misalnya saja yang tercantum dalam firman Allah dalam surah al-Maidah (5):38

Artinya: “ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat di atas menjelaskan tentang hukum kishas, yaitu pemotongan tangan bagi pencuri tanpa adanya penjelasan yang lebih lanjut batas tangan yang harus dipotong. Kemudian pembatasan itu baru diketahui dan dijelaskan ketika ada seorang pencuri yang datang ke hadapan Nabi, kemudian diputuskan hukuman dengan memotong tangan yaitu dipotong bagian pergelangan tangan.

3.      Bayan Naskhi
      Yaitu fungsi al-Hadits untuk menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surah al-Baqarah (2): 180

Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

4.      Bayan Tasyri’
Yaitu fungsi hadits sebagai penetapan hukum yang baru yang belum ada dalam al-Qur’an. Contoh tentang larangan memadu istri dengan saudaranya. Firman Allah SWT  dalam surah al-An Nisa’ ayat 23, dalam ayat tersebut hanya dijelaskan larangan terhadap suami untuk memadu istrinya dengan saudara perempuan si istri. Sedangkan dalam hadits Nabi juga dijelaskan yaitu larangan seorang seorang suami memadu istrinya dengan bibinya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Sebagaimana dalam sabda Rosulullah :

لا تنكح المرأة على عمتها ولا خالتها ولا ابنة أختها ولا ابنته أخيها                                            

Seorang wanita tidak boleh dikawini bersamaan (dimadu) dengan bibinya atau bersamaan dengan putrid saudara perempuan atau putri saudara laki-laki istri (keponakan istri). (HR. Muslim)

Semua ulama sepakat dan mengakui adanya hubungan bayan sunnah terhadap al-Qur’an. Lebih jelasnya bahwa antara al-Qur’an dan as-Sunnah tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama wahyu yang datang dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang bertujuan untuk disampaikan kepada ummatnya. Hanya psoses penyampaian dan periwayatannya yang berbeda.

  1. Dalil-Dalil Kehujahan As-Sunnah

1.      Al-Qur’an al-Karim
            Banyak yang mewajibkan kaum muslimin agar menta’ati Rosulullah saw. Dan menjadikan ketaatan padanya sama seperti ketaatan pada Allah. Diantara ayat-ayat tersebut :

Artinya: karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.{Qs.Ali Imran:179}

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. {Qs.An-Nisaa’:136}

Artinya: dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. {Qs.An-Nisaa’:64}

Artinya: Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".{Qs.Ali Imran:32}

Artinya: apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang   
              dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. {Qs.Al-Hasyr:7}

    1. Sunnah Nabawiyah
Banyak hadits yang menunjukkan akan wajibnya mengikuti sunnah sebagai sumber hukum Islam untuk menetapkan hukum-hukum. Diantara Hadits-Hadits tersebut :

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنتي                                            

Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnahku (HR. al-Hakim dan Malik)

0 komentar: