Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Kamis, 08 November 2012
Islam Normatif Dan Islam Historis
Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah kepada
manusia melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya dan sekaligus menjadi penutup
para Nabi dan Rosul. Untuk memahami ajaran Islam, tidak bisa mempelajarinya
dari sudut pandang tertentu melainkan harus dipahami secara keseluruhan. Secara
garis besar, Islam dapat dilihat dari dua aspek yaitu dari aspek normatif dan
aspek historis.
Islam normatif merupakan Islam yang diwujudkan atas norma-norma
yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang keberadaannya absolut dan tidak
dapat dipersoalkan. Al-qur’an dikukuhkan untuk mendefinisikan Islam yang senantiasa
menjadi sumber dasar bagi Inspirasi keagamaan Muslim. Sedangkan al-Hadits juga
mencapai posisi pusat dalam kehidupan keagamaan muslim yaitu sebagai sumber
kedua atau sebagai penjelas dari al-Qur’an itu sendiri.
Adapun Islam historis adalah Islam yang pelaksanaannya
dilihat dari perjalanan sejarahnya yaitu kehidupan sosial dan kultural manusia
dalam konteks ruang dan waktu. Maka pendekatan kepada ajaran sejauh mungkin
tidak dogmatis, melainkan analitis, bahkan dalam pendekatan kepada masalah
pemahaman sumber suci agama. Kita sangat memerlukan kesadaran historis tanpa
menjadi seorang yang historisis yaitu sikap memutlakkan apa yang ada dalam
sejarah, tetapi melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan
pelaksanaan nyata suatu nilai dalam tuntutan zaman dan tempat.
Dari dua aspek di atas dapat dipahami bahwa Islam dapat
dilihat dari dua sisi yaitu sisi nomatif dan historis yang pada hakikatnya
antara kedua aspek tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Apabila kedua aspek tersebut berhasil diseimbangkan tentu saja Islam akan
berkembang secara dinamis, terbuka dengan tanpa adanya kemerosotan dalam hal
lain seperti hal yang menyangkut aqidah dan ibadah yang tidak dapat dirubah.
Dalam menyeimbangkan kedua aspek tersebut itulah sehingga
tali hubungan dengan Allah (habl min Allah) dapat diterjemahkan secara nyata
menjadi tali hubungan dengan manusia (habl min al-nas). Sebab peradaban Islam
adalah peradaban kaum muslim, yaitu peradaban yang dapat menciptakan manusia
yang mempunyai komitmen kepada nilai-nilai Islam yang berintikan taqwa kepada
Allah dan usaha mencapai ridha-Nya. Tetapi peradaban itu sendiri juga sebagai
daya cipta manusia dan usahanya dalam lingkup hidup dengan sesamanya. Jadi
benar-benar bersifat kemanusiaan.
Peradaban adalah fungsi kekhalifahan
umat manusia. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal dan memahami lingkungan
hidupnya (mengetahui nama-nama seluruhnya). Jika kita melihat kembali pada
sejarah, meskipun telah mempunyai ilmu pengetahuan, ternyata Adam tidak kebal
dari kemungkinan menempuh hidup sesat. Ia tidak dapat menahan diri dari
dorongan hawa nafsunya, dan masih tergoda oleh syetan untuk melanggar larangan
Tuhan. Dan akhirnya Adam dan istrinya, Hawa’ jatuh dari hidup penuh kebahagiaan
di surga dan harus menempuh hidup penuh hambatan dan kesulitan di dunia.
Dari penuturan kisah Adam dan
Istrinya Hawa’, dapat disimpulkan bahwa berbagai ajaran dari Tuhan itu untuk
melengkapi manusia dalam menjalankan perannya menjadi khalifah di muka bumi
bukan justru membuatnya sesat dan menjerumuskannya pada kesengsaraan. Manusia
diberikan kemampuan intelek untuk mengenali lingkungan hidupnya, dan itulah
yang menjadi taruhan kekhalifahan manusia.
Jika kita mengkaji kembali tentang
kisah Adam, maka sesungguhnya manusia diberi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk
menempuh hidup ini, namun dengan cara begitu rupa sehingga tidak melanggar
norma-norma yang lebih tinggi yaitu dengan tetap menjaga batasan dan tidak
melakukan larangan yang sudah jelas tercantum dalam Kitab Suci.
Pada masa orang-orang muslim klasik,
kita akan melihat gambaran diri mereka yang sejalan dengan Kitab Suci, yang
dalam gambaran diri itu sesungguhnya mengandung kualitas normatif. Jadi bisa
ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang bersifat normatif berupa perintah dan
larangan yang jelas tertera dalam Kitab Suci harus diwujudkan yang dengan
sendirinya mendorong umat manusia untuk berjuang membentuk sejarah dunia yang
sejalan dengan ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan terbuka untuk umat
manusia.
Islam berintikan pada Taqwa kepada
Allah dalam usaha mencapai ridho-Nya. Taqwa dan rasa tanggungjawab pribadi
karena semangat Ketuhanan itu dicontohkan baik oleh ‘Umar, ketika ia sebagai
khalifah harus memikul sekarung gandum untuk dibawa kepada seorang janda dan
anaknya yang kelaparan di luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa
mereka itu sebagai berada di atas pundaknya selaku pemimpin dan penguasa.
Maka Islam mengacu pada sikap
keruhanian setiap individu yang dengan iman mendorongnya untuk melakukan
hal-hal yang berkenaan dengan Ridho-Nya dengan tulus dan sejati, sebagaimana
hal itu sudah menjadi ajaran para nabi. Ketika Islam yang pada intinya bersifat
pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan-tindakan, dan ketika
tindakan-tindakan dari masing-masing pribadi itu terkait, saling menopang dan
kemudian menyatu, maka Islampun melandasi terbentuknya suatu kolektiva
spiritual (ummah), dengan ciri-ciri tertentu sebagai pancaran dari cita-citanya
untuk mencapai keridhoan Tuhan. Maka lahirlah pola-pola kemasyarakatan yang
membentuk hukum. Inilah yang disebut Islam historis yaitu Islam yang telah
mewujud nyata sebagai pengalaman bersama yang bisa diidentifikasi sebagai suatu
bentuk kesatuan kemasyarakatan manusia
beriman yang disebut umat, dengan kesadaran berhukum dan berperaturan bersama
sebagai intinya.
Oleh karena itu, salah satu yang menjadi karakteristik kuat
umat Islam adalah kesadaran hukumnya yang tinggi yang menjadi kelanjutan
ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya. kesadaran hukum itu tumbuh karena adanya
rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari yang kemudian
menyatu dalam setiap pribadi muslim dan membentuk sejarah yang kemudian dikenal
dengan Islam historis.
Islam dalam bentuknya yang normatif akan tetap dan tidak akan
pernah berubah dan berkembang. Berbeda dengan Islam historis yang sifatnya
dinamis. Diperlukan ketajaman untuk memahami mana aspek normatif dan mana aspek
historis sehingga keduanya tidak dicampuradukkan dan tetap berjalam seimbang
dalam setiap pribadi muslim yang pada akhirnya akan membentuk sejarah dalam
peradaban Islam.
Label:
About Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.