Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Kamis, 08 November 2012

                                                            Islam Normatif Dan Islam Historis

Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya dan sekaligus menjadi penutup para Nabi dan Rosul. Untuk memahami ajaran Islam, tidak bisa mempelajarinya dari sudut pandang tertentu melainkan harus dipahami secara keseluruhan. Secara garis besar, Islam dapat dilihat dari dua aspek yaitu dari aspek normatif dan aspek historis.

Islam normatif merupakan Islam yang diwujudkan atas norma-norma yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang keberadaannya absolut dan tidak dapat dipersoalkan. Al-qur’an dikukuhkan untuk mendefinisikan Islam yang senantiasa menjadi sumber dasar bagi Inspirasi keagamaan Muslim. Sedangkan al-Hadits juga mencapai posisi pusat dalam kehidupan keagamaan muslim yaitu sebagai sumber kedua atau sebagai penjelas dari al-Qur’an itu sendiri.

Adapun Islam historis adalah Islam yang pelaksanaannya dilihat dari perjalanan sejarahnya yaitu kehidupan sosial dan kultural manusia dalam konteks ruang dan waktu. Maka pendekatan kepada ajaran sejauh mungkin tidak dogmatis, melainkan analitis, bahkan dalam pendekatan kepada masalah pemahaman sumber suci agama. Kita sangat memerlukan kesadaran historis tanpa menjadi seorang yang historisis yaitu sikap memutlakkan apa yang ada dalam sejarah, tetapi melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan pelaksanaan nyata suatu nilai dalam tuntutan zaman dan tempat.


Dari dua aspek di atas dapat dipahami bahwa Islam dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi nomatif dan historis yang pada hakikatnya antara kedua aspek tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Apabila kedua aspek tersebut berhasil diseimbangkan tentu saja Islam akan berkembang secara dinamis, terbuka dengan tanpa adanya kemerosotan dalam hal lain seperti hal yang menyangkut aqidah dan ibadah yang tidak dapat dirubah.
Dalam menyeimbangkan kedua aspek tersebut itulah sehingga tali hubungan dengan Allah (habl min Allah) dapat diterjemahkan secara nyata menjadi tali hubungan dengan manusia (habl min al-nas). Sebab peradaban Islam adalah peradaban kaum muslim, yaitu peradaban yang dapat menciptakan manusia yang mempunyai komitmen kepada nilai-nilai Islam yang berintikan taqwa kepada Allah dan usaha mencapai ridha-Nya. Tetapi peradaban itu sendiri juga sebagai daya cipta manusia dan usahanya dalam lingkup hidup dengan sesamanya. Jadi benar-benar bersifat kemanusiaan.

            Peradaban adalah fungsi kekhalifahan umat manusia. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal dan memahami lingkungan hidupnya (mengetahui nama-nama seluruhnya). Jika kita melihat kembali pada sejarah, meskipun telah mempunyai ilmu pengetahuan, ternyata Adam tidak kebal dari kemungkinan menempuh hidup sesat. Ia tidak dapat menahan diri dari dorongan hawa nafsunya, dan masih tergoda oleh syetan untuk melanggar larangan Tuhan. Dan akhirnya Adam dan istrinya, Hawa’ jatuh dari hidup penuh kebahagiaan di surga dan harus menempuh hidup penuh hambatan dan kesulitan di dunia.

            Dari penuturan kisah Adam dan Istrinya Hawa’, dapat disimpulkan bahwa berbagai ajaran dari Tuhan itu untuk melengkapi manusia dalam menjalankan perannya menjadi khalifah di muka bumi bukan justru membuatnya sesat dan menjerumuskannya pada kesengsaraan. Manusia diberikan kemampuan intelek untuk mengenali lingkungan hidupnya, dan itulah yang menjadi taruhan kekhalifahan manusia.

            Jika kita mengkaji kembali tentang kisah Adam, maka sesungguhnya manusia diberi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk menempuh hidup ini, namun dengan cara begitu rupa sehingga tidak melanggar norma-norma yang lebih tinggi yaitu dengan tetap menjaga batasan dan tidak melakukan larangan yang sudah jelas tercantum dalam Kitab Suci.

            Pada masa orang-orang muslim klasik, kita akan melihat gambaran diri mereka yang sejalan dengan Kitab Suci, yang dalam gambaran diri itu sesungguhnya mengandung kualitas normatif. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang bersifat normatif berupa perintah dan larangan yang jelas tertera dalam Kitab Suci harus diwujudkan yang dengan sendirinya mendorong umat manusia untuk berjuang membentuk sejarah dunia yang sejalan dengan ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan terbuka untuk umat manusia.

            Islam berintikan pada Taqwa kepada Allah dalam usaha mencapai ridho-Nya. Taqwa dan rasa tanggungjawab pribadi karena semangat Ketuhanan itu dicontohkan baik oleh ‘Umar, ketika ia sebagai khalifah harus memikul sekarung gandum untuk dibawa kepada seorang janda dan anaknya yang kelaparan di luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa mereka itu sebagai berada di atas pundaknya selaku pemimpin dan penguasa.

            Maka Islam mengacu pada sikap keruhanian setiap individu yang dengan iman mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang berkenaan dengan Ridho-Nya dengan tulus dan sejati, sebagaimana hal itu sudah menjadi ajaran para nabi. Ketika Islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan-tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari masing-masing pribadi itu terkait, saling menopang dan kemudian menyatu, maka Islampun melandasi terbentuknya suatu kolektiva spiritual (ummah), dengan ciri-ciri tertentu sebagai pancaran dari cita-citanya untuk mencapai keridhoan Tuhan. Maka lahirlah pola-pola kemasyarakatan yang membentuk hukum. Inilah yang disebut Islam historis yaitu Islam yang telah mewujud nyata sebagai pengalaman bersama yang bisa diidentifikasi sebagai suatu bentuk kesatuan  kemasyarakatan manusia beriman yang disebut umat, dengan kesadaran berhukum dan berperaturan bersama sebagai intinya.

Oleh karena itu, salah satu yang menjadi karakteristik kuat umat Islam adalah kesadaran hukumnya yang tinggi yang menjadi kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya. kesadaran hukum itu tumbuh karena adanya rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari yang kemudian menyatu dalam setiap pribadi muslim dan membentuk sejarah yang kemudian dikenal dengan Islam historis.

Islam dalam bentuknya yang normatif akan tetap dan tidak akan pernah berubah dan berkembang. Berbeda dengan Islam historis yang sifatnya dinamis. Diperlukan ketajaman untuk memahami mana aspek normatif dan mana aspek historis sehingga keduanya tidak dicampuradukkan dan tetap berjalam seimbang dalam setiap pribadi muslim yang pada akhirnya akan membentuk sejarah dalam peradaban Islam.


















0 komentar: