Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Senin, 12 November 2012
Kandungan al-Qur’an tidak
ada habisnya untuk dikaji. Semakin dikaji, justru semakin banyak hal yang harus
digali. Inilah salah satu mukjizat al-Qur’an sekaligus yang membedakan dengan
kitab-kitab suci lainnya. Dalam mengkaji al-Qur’an, tentunya tidak luput dari
mengetahui terjemah dari al-Qur’an itu sendiri. Tujuannya tidak lain adalah
untuk mengetahui arti dari al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa arab.
Dalam mengkaji sekaligus
menggali isi dari al-Qur’an, tidak saja dari orang Islam yang tertarik dengannya,
bahkan orang-orang non-muslim pun tidak kalah tertarik dalam mempelajari
al-Qur’an. Dalam mempelajari al-Qur’an, selain kita diharuskan untuk mengetahui
terjemah dari al-Qur’an itu, kita juga diharuskan untuk mempelajari tentang
tafsir sekaligus takwil dari al-Qur’an. Yang bertujuan untuk mengetahui esensi
dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
A. Terjemah, Tafsir dan Takwil
Pada awalnya, tafsir dan
takwil dipahami sebagai dua kata yang memiliki makna yang sama. Namun kemudian
keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an. Keduanya
adalah istilah dalam rangka menjelaskan dan menggali kandungan ayat-ayat
al-Qur’an.
Di bawah adalah penjelasan
mengenai tafsir, takwil dan terjemah al-Qur’an:
1. Terjemah al-Qur’an
Secara etimologi, terjemah
diartikan dengan menyalin dan memindahkan bahasa dari satu bahasa ke bahasa
lain. Dari itu, terjemah adalah proses alih bahasa atau pemindahan bahasa
dengan maksud supaya pembicaraan atau kalimat bahasa asal yang diterjemahkan
bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami bahasa asal yang
diterjemahkan.
Dalam menerjemahkan
al-Qur’an ada beberapa pengertian, diantaranya:
a). terjemah harfiyah
terjemah ini biasa
diartikan dengan memindahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan tetap memelihara
susunannya dengan diikuti oleh makna asli yang terkandung dalam apa yang
diterjemahkan. Bentuk terjemah ini terkadang bersifat kaku dan sulit untuk
mengeksplorasi makna yang dikandung bahasa yang diterjemahkan sehingga masih
perlu untuk diterjemah ulang ke dalam bahasa yang lebih mudah untuk dipahami.
b). terjemah maknawiyan atau tafsiriyah
terjemah maknawiyah adalah menerangkan
makna yang terkandung dalam satu buku tanpa memerhatikan susunan dan jalan
bahasa aslinya. Terjemah model ini lebih mengutamakan maksud yang ingin
disampaikan, tidak terikat dengan susunan dan struktur kalimat. Terjemah model
ini lebih dikenal dengan model terjemah bebas, sehingga lebih mudah dipahami.
2. Tafsir Al-Qur’an
Menurut az-Zarkasyi tafsir
diartikan dengan ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan
hikmahnya. Jadi, tafsir adalah menjelaskan maksud dari makna-makna al-Qur’an
dengan menambahkan dalil-dalil yang pasti.
a). klasifikasi tafsir
Baik ulama salaf maupun khalaf, menetapkan
tiga macam klasifikasi tafsir, yaitu:
1). Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir ini diartikan dengan
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, atau dengan sunnah Rosul,
atau dengan qaul shahabi dan atau dengan qaul tabi’in. Jadi, bisa disimpulkan
bahwa empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur, yaitu dengan
menggunakan al-Qur’an itu sendiri, hadits Nabi, penjelasan sahabat, dan
penjelasan tabi’in.
Dari corak tafsir ini, yaitu tafsir yang merujuk pada
al-Qur’an, hadits Nabi, para sahabat dan para tabi’in, tentunya tafsir bi
al-ma’tsur memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan corak tafsir
lainnya. Diantara keistimewaan-keistimewaan tafsir ini seperti yang dikemukakan
oleh Quraisy Syihab adalah sebagai berikut:
· Menekankan pentingnya bahasa
dalam memahami al-Qur’an.
· Memaparkan ketelitian redaksi
ayat ketika menyampaikan pesan-pesan.
· Mengikat mufassir dalam
bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam
subjektivitas yang berlebihan.
Sementara itu, terdapat
pula kelemahan-kelemahan pada tafsir dengan corak bi al-ma’tsur ini, yaitu
seperti yang dikemukakan oleh adz-Dzahabi:
·
Terjadi pemalsuan dalam tafsir. Yaitu ketika
terjadi perpecahan dikalangan umat Islam
yang menimbulkan berbagai aliran, seperti syi’ah, khawarij dan lain sebagainya.
Sebabnya, karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha umat Islam.
· Masuknya unsur israliyat
yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani
ke dalam penafsiran al-Qur’an.
· Penghilangan sanad.
· Terjerumusnya mufassir ke
dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an
menjadi kabur.
· Seringkali konteks asbab
an-nuzul menjadi terabaikan.
Di
antara kitab yang dipandang menempuh corak tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Anwar At-Tanzil, karya
Al-Baidhawi, Ad-Dur Al-Mantsur fi
At-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din as-Suyuti, Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibnu Abbas, karya Fairuz Zabadi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karya Ibnu
Katsir.
2). Tafsir
bi Ar-Ra’yi
Tafsir ini disebut juga dengan tafsir ad-dirayah yang
artinya tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufassir setelah ia mengetahui berbagai persyaratan dalam menafsirkan
al-Qur’an. Yang mendukung corak penafsiran ini adalah semakin majunya ilmu
keislaman yang diwarnai ragam disiplin ilmu.
Dalam
tafsir bi ar-Ra’yi ini, peranan akal sangat dominan. Tafsir ini dapat diterima
selama menghindari hal berikut ini:
·
Memaksakan diri untuk mengetahui
makna yang diehendaki Allah pada suatu ayat.
·
Mencoba menafsirkan ayat yang
hanya menjadi otoritas Allah.
·
Menafsirkan al-Qur’an dengan
disertai hawa nafsu.
·
Menafsirkan al-Qur’an untuk
mendukung suatu madzhab.
Diantara karya tafsir bi ar-ra’yi
diantaranya: Mafatih Al-Ghaib, karya
Fakhr Ar-Razi, Anwar At-Tanzil wa Asrar
At-Takwil, karya Al-Baidhawi, Madarik
At-Tanzil wa Haqa’iq at-Takwil, karya An-Nasafi dan Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-Khazin.
3. Takwil Al-Qur’an
Takwil
adalah mengeluarkan makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Menurut para
pakar ilmu kalam dan filosof berpendapat bahwa takwil adalah memalinghkan makna
dari makna aslinya ke makna yang lebih kuat.
Kalau
melihat catatan sejarah, maka penggunaan istilah takwil lebih dahulu popular
dibanding dengan istilah tafsir. Pengertian takwil secara tuntas sebenarnya
dapat ditelusuri dari sabda Nabi ketika beliau mendo’akan Ibnu Abbas agar
menjadi orang yang far excellence dalam bidang takwil: Allahhumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu at-ta’wil (ya Allah,
berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya
ta’wil) . Ketika Umar bin Khattab
mempertanyakan pesan surat Al-Nashr kepada Ibnu Abbas, ia
mengutarakan aspek batin dari surat
itu, yaitu dekatnya masa perpisahan dengan Nabi.
B.
Perbedaan
Tafsir dan Takwil
Perbedaan
ini tidak terlepas dari ruang lingkup tafsir dan takwil yang bekerja pada dua
sisi makna al-Qur’an, yaitu makna dhahir dan makna batin. Takwil dipahami
sebagai kaidah-kaidah penafsiran
berdasarkan akal terhadap ayat-ayat
allegoris yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang terkandung
dalam suatu teks serta memilih yang paling tepat. Sedangkan tafsir dipahami
sebagai penjelasan yang semata-mata bersumberkan dari kabar benar yang
diriwayatkan secara mutawatir oleh para perawi yang adil dan dhabid.
Takwil
tidak lain adalah suatu bentuk lebih intensif dari tafsir. Tafsir selalu
membutuhkan pada tafsirah atau mediator yang menjadi perhatian para mufassir,
sedangkan takwil lebih memerhatikan pada gerak nalar dalam menyingkap fenomena.
Makna lahir dan batin
al-Qur’an merupakan dua sisi yang selama ini diperkenalkan oleh para penafsir
al-Qur’an. Khusus pada sisi batin al-Qur’an yang sering dipakai oleh para sufi
, filosof dan syi’ah batiniyah, keabsahannya masih menjadi bahan kontroversi
para ulama.
Menjawab
persoalan di atas, al-Ghozali menjawabnya dengan menggunakan dua pendekatan,
yaitu pendekatan teologi Asy’ariyah dan pendekatan sufistik. Dengan menggunakan
pendekatan pertama, ia berpendapat bahwa makna lahir Al-Qur’an harus diyakini
seperti yang dimaksud oleh Allah, kecuali ayat-ayat yang berbicara tentang
antromorpis Allah yang harus ditakwil karena memahaminya secara literal,
menurutnya, justru tidak dapat diterima akal. Dengan cara seperti ini, ia
mengikrarakan diri sebagai pendukung setia Juwaini, gurunya, meskipun mendapat
kritikan pedas dari Ibnu Taimiyah.
Dengan
pendekatan sufistiknya, Al-Ghozali meyakini bahwa al-Qur’an memiliki makna
batin yang tersembunyi dan hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki jiwa
yang suci, yakni para sufi. Kendatipun beliau menerima makna batin al-Qur’an,
ia menjelaskan bahwa pendekatannya itu bertentangan secara diametral dengan
syi’ah batiniyah yang mempertentangkan makna lahir al-Qur’an, dan pendapatnya
juga berbeda dengan para filosof dan kelompok mu’tazilah yang dipandang
tersesat ketika memaknai makna batin al-Qur’an.
Kesimpulannya,
hubungan antara makna lahir dan makna batin al-Qur’an adalah diibaratkan
bagaikan hubungan antara pintu dengan rumah. Kita dapat masuk ke dalam rumah
hanya dengan melalui pintu. Sebagaimana kita dapat sampai pada penafsiran batin
al-Qur’an setelah kita melalui tafsir lahir al-Qur’an. Keduanya saling
melengkapi dan merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan. Penggabungan dua
pendekatan tafsir ini diharapkan dapat mengapresiasikan pesan-pesan al-Qur’an
yang sebenarnya.
C.
Syarat-Syarat
Mufassir
Para
Ulama bersepakat bahwa persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang mufassir
adalah sebagai berikut:
a.
Ilmu Bahasa; ilmu ini digunakan untuk
mengetahui kosa kata dan maknanya, bahkan Imam Malik mengatakan dalam Al-Alusi
(1987:5):”seseorang tidak boleh
menafsirkan Al-Qur’an tanpa pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab”.
b.
Ilmu Nahwu; ilmu ini sangat
diperlukan guna mengetahui perubahan suatu kata yang dapat berubah maknanya
disebabkan karena perubahan I’rabnya.
c.
Ilmu Tashrif; ilmu ini perlu dikuasai
oleh seorang mufassir guna mempermudah mengetahui bentuk kata-kata yang berubah
dan tidak berubahnya kata-kata sekaligus perubahan maknanya.
d.
Ilmu Isytiqaq (Etimologi); ilmu ini
digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan
kata-kata serumpun dengan makna yang berlainan.
e.
Ilmu Balaghah (ma’ani, bayan, badi’);
ilmu ini diperlukan guna mengetahui keistimewaan susunan kalimat baik dari segi
makna yang dihasilkan, kiasan-kiasan dan gaya
bahasa.
f.
Ilmu Qira’ah; ilmu ini digunakan
mufassir dalam menentukan qiraat yang lebih sesuai dengan arti dan ungkapan
ayat yang dimaksud.
g.
Ilmu Ushuluddin; ilmu ini diperlukan
karena dengannya mufassir akan dapat mengetahui dalil-dalil sebagai pembuktian
dari al-Qur’an mengenai sifat-sifat yang mustahil, wajib dan jaiz bagi Allah.
h.
Ushul Fiqh; ilmu ini sangat penting
bagi mufassir dalam rangka mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya.
i.
Asbabun an-Nuzul; dengan ilmu ini,
maksud ayat dapat ditemukan dengan peristiwa yang menyertainya.
j.
Ilmu Nasikh Mansukh; Ilmu ini
diperlukan guna mengetahui ayat-ayat yang muhkam, sehingga seorang mufassir
tidak menggunakan dalil dari ayat yang mansukh, baik segi hukum dan tilawahnya.
k.
Ilmu Fiqh; ilmu ini diperlukan karena
akan dapat mengetahui pandangan-pandangan para fuqaha, termasuk metodologi
intimbath al-ahkam mereka.
l.
Ilmu Hadits; ilmu ini wajib diketahui
seorang mufassir agar tidak mudah terbawa oleh arus cerita Israliyat yang
kadangkala tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Label:
Al-Qur'an dan Al-Hadits
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.