Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Senin, 12 November 2012


 
Kandungan al-Qur’an tidak ada habisnya untuk dikaji. Semakin dikaji, justru semakin banyak hal yang harus digali. Inilah salah satu mukjizat al-Qur’an sekaligus yang membedakan dengan kitab-kitab suci lainnya. Dalam mengkaji al-Qur’an, tentunya tidak luput dari mengetahui terjemah dari al-Qur’an itu sendiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengetahui arti dari al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa arab.

Dalam mengkaji sekaligus menggali isi dari al-Qur’an, tidak saja dari orang Islam yang tertarik dengannya, bahkan orang-orang non-muslim pun tidak kalah tertarik dalam mempelajari al-Qur’an. Dalam mempelajari al-Qur’an, selain kita diharuskan untuk mengetahui terjemah dari al-Qur’an itu, kita juga diharuskan untuk mempelajari tentang tafsir sekaligus takwil dari al-Qur’an. Yang bertujuan untuk mengetahui esensi dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.


               A.  Terjemah, Tafsir dan Takwil

Pada awalnya, tafsir dan takwil dipahami sebagai dua kata yang memiliki makna yang sama. Namun kemudian keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an. Keduanya adalah istilah dalam rangka menjelaskan dan menggali kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
Di bawah adalah penjelasan mengenai tafsir, takwil dan terjemah al-Qur’an:
1.      Terjemah al-Qur’an
Secara etimologi, terjemah diartikan dengan menyalin dan memindahkan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain. Dari itu, terjemah adalah proses alih bahasa atau pemindahan bahasa dengan maksud supaya pembicaraan atau kalimat bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami bahasa asal yang diterjemahkan.
Dalam menerjemahkan al-Qur’an ada beberapa pengertian, diantaranya:
a). terjemah harfiyah
terjemah ini biasa diartikan dengan memindahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan tetap memelihara susunannya dengan diikuti oleh makna asli yang terkandung dalam apa yang diterjemahkan. Bentuk terjemah ini terkadang bersifat kaku dan sulit untuk mengeksplorasi makna yang dikandung bahasa yang diterjemahkan sehingga masih perlu untuk diterjemah ulang ke dalam bahasa yang lebih mudah untuk dipahami.
b). terjemah maknawiyan atau tafsiriyah
            terjemah maknawiyah adalah menerangkan makna yang terkandung dalam satu buku tanpa memerhatikan susunan dan jalan bahasa aslinya. Terjemah model ini lebih mengutamakan maksud yang ingin disampaikan, tidak terikat dengan susunan dan struktur kalimat. Terjemah model ini lebih dikenal dengan model terjemah bebas, sehingga lebih mudah dipahami.

2.      Tafsir Al-Qur’an
Menurut az-Zarkasyi tafsir diartikan dengan ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya. Jadi, tafsir adalah menjelaskan maksud dari makna-makna al-Qur’an dengan menambahkan dalil-dalil yang pasti.
a). klasifikasi tafsir
 Baik ulama salaf maupun khalaf, menetapkan tiga macam klasifikasi tafsir, yaitu:
         1). Tafsir bi al-ma’tsur
               Tafsir ini diartikan dengan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, atau dengan sunnah Rosul, atau dengan qaul shahabi dan atau dengan qaul tabi’in. Jadi, bisa disimpulkan bahwa empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur, yaitu dengan menggunakan al-Qur’an itu sendiri, hadits Nabi, penjelasan sahabat, dan penjelasan tabi’in.

         Dari corak tafsir ini, yaitu tafsir yang merujuk pada al-Qur’an, hadits Nabi, para sahabat dan para tabi’in, tentunya tafsir bi al-ma’tsur memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan corak tafsir lainnya. Diantara keistimewaan-keistimewaan tafsir ini seperti yang dikemukakan oleh Quraisy Syihab adalah sebagai berikut:
·     Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
·     Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan.
·     Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.

Sementara itu, terdapat pula kelemahan-kelemahan pada tafsir dengan corak bi al-ma’tsur ini, yaitu seperti yang dikemukakan oleh adz-Dzahabi:
·         Terjadi pemalsuan dalam tafsir. Yaitu ketika terjadi  perpecahan dikalangan umat Islam yang menimbulkan berbagai aliran, seperti syi’ah, khawarij dan lain sebagainya. Sebabnya, karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha umat Islam.
·      Masuknya unsur israliyat yaitu unsur-unsur Yahudi dan      Nasrani ke dalam penafsiran al-Qur’an.
·        Penghilangan sanad.
·    Terjerumusnya mufassir ke dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
·        Seringkali konteks asbab an-nuzul menjadi terabaikan.
  
Di antara kitab yang dipandang menempuh corak tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari, Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi, Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din as-Suyuti, Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibnu Abbas, karya Fairuz Zabadi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karya Ibnu Katsir.

                                   2). Tafsir bi Ar-Ra’yi
         Tafsir ini disebut juga dengan tafsir ad-dirayah yang artinya tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah ia mengetahui berbagai persyaratan dalam menafsirkan al-Qur’an. Yang mendukung corak penafsiran ini adalah semakin majunya ilmu keislaman yang diwarnai ragam disiplin ilmu.

Dalam tafsir bi ar-Ra’yi ini, peranan akal sangat dominan. Tafsir ini dapat diterima selama menghindari hal berikut ini:
·        Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang diehendaki Allah pada suatu ayat.
·        Mencoba menafsirkan ayat yang hanya menjadi otoritas Allah.
·        Menafsirkan al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu.
·        Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung suatu madzhab.

   Diantara karya tafsir bi ar-ra’yi diantaranya: Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Takwil, karya Al-Baidhawi, Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq at-Takwil, karya An-Nasafi dan Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-Khazin.

            3. Takwil Al-Qur’an
Takwil adalah mengeluarkan makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Menurut para pakar ilmu kalam dan filosof berpendapat bahwa takwil adalah memalinghkan makna dari makna aslinya ke makna yang lebih kuat.

Kalau melihat catatan sejarah, maka penggunaan istilah takwil lebih dahulu popular dibanding dengan istilah tafsir. Pengertian takwil secara tuntas sebenarnya dapat ditelusuri dari sabda Nabi ketika beliau mendo’akan Ibnu Abbas agar menjadi orang yang far excellence dalam bidang takwil: Allahhumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu at-ta’wil (ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil) . Ketika Umar bin Khattab mempertanyakan pesan surat Al-Nashr kepada Ibnu Abbas, ia mengutarakan aspek batin dari surat itu, yaitu dekatnya masa perpisahan dengan Nabi.

B.     Perbedaan Tafsir dan Takwil

Perbedaan ini tidak terlepas dari ruang lingkup tafsir dan takwil yang bekerja pada dua sisi makna al-Qur’an, yaitu makna dhahir dan makna batin. Takwil dipahami sebagai kaidah-kaidah  penafsiran berdasarkan  akal terhadap ayat-ayat allegoris yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang terkandung dalam suatu teks serta memilih yang paling tepat. Sedangkan tafsir dipahami sebagai penjelasan yang semata-mata bersumberkan dari kabar benar yang diriwayatkan secara mutawatir oleh para perawi yang adil dan dhabid.
Takwil tidak lain adalah suatu bentuk lebih intensif dari tafsir. Tafsir selalu membutuhkan pada tafsirah atau mediator yang menjadi perhatian para mufassir, sedangkan takwil lebih memerhatikan pada gerak nalar dalam menyingkap fenomena.
Makna lahir dan batin al-Qur’an merupakan dua sisi yang selama ini diperkenalkan oleh para penafsir al-Qur’an. Khusus pada sisi batin al-Qur’an yang sering dipakai oleh para sufi , filosof dan syi’ah batiniyah, keabsahannya masih menjadi bahan kontroversi para ulama.

Menjawab persoalan di atas, al-Ghozali menjawabnya dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan teologi Asy’ariyah dan pendekatan sufistik. Dengan menggunakan pendekatan pertama, ia berpendapat bahwa makna lahir Al-Qur’an harus diyakini seperti yang dimaksud oleh Allah, kecuali ayat-ayat yang berbicara tentang antromorpis Allah yang harus ditakwil karena memahaminya secara literal, menurutnya, justru tidak dapat diterima akal. Dengan cara seperti ini, ia mengikrarakan diri sebagai pendukung setia Juwaini, gurunya, meskipun mendapat kritikan pedas dari Ibnu Taimiyah.

Dengan pendekatan sufistiknya, Al-Ghozali meyakini bahwa al-Qur’an memiliki makna batin yang tersembunyi dan hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki jiwa yang suci, yakni para sufi. Kendatipun beliau menerima makna batin al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa pendekatannya itu bertentangan secara diametral dengan syi’ah batiniyah yang mempertentangkan makna lahir al-Qur’an, dan pendapatnya juga berbeda dengan para filosof dan kelompok mu’tazilah yang dipandang tersesat ketika memaknai makna batin al-Qur’an.

Kesimpulannya, hubungan antara makna lahir dan makna batin al-Qur’an adalah diibaratkan bagaikan hubungan antara pintu dengan rumah. Kita dapat masuk ke dalam rumah hanya dengan melalui pintu. Sebagaimana kita dapat sampai pada penafsiran batin al-Qur’an setelah kita melalui tafsir lahir al-Qur’an. Keduanya saling melengkapi dan merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan. Penggabungan dua pendekatan tafsir ini diharapkan dapat mengapresiasikan pesan-pesan al-Qur’an yang sebenarnya.


C.     Syarat-Syarat Mufassir

Para Ulama bersepakat bahwa persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang mufassir adalah sebagai berikut:
a.      Ilmu Bahasa; ilmu ini digunakan untuk mengetahui kosa kata dan maknanya, bahkan Imam Malik mengatakan dalam Al-Alusi (1987:5):”seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an tanpa pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab”.
b.      Ilmu Nahwu; ilmu ini sangat diperlukan guna mengetahui perubahan suatu kata yang dapat berubah maknanya disebabkan karena perubahan I’rabnya.
c.       Ilmu Tashrif; ilmu ini perlu dikuasai oleh seorang mufassir guna mempermudah mengetahui bentuk kata-kata yang berubah dan tidak berubahnya kata-kata sekaligus perubahan maknanya.
d.      Ilmu Isytiqaq (Etimologi); ilmu ini digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan kata-kata serumpun dengan makna yang berlainan.
e.       Ilmu Balaghah (ma’ani, bayan, badi’); ilmu ini diperlukan guna mengetahui keistimewaan susunan kalimat baik dari segi makna yang dihasilkan, kiasan-kiasan dan gaya bahasa.
f.        Ilmu Qira’ah; ilmu ini digunakan mufassir dalam menentukan qiraat yang lebih sesuai dengan arti dan ungkapan ayat yang dimaksud.
g.      Ilmu Ushuluddin; ilmu ini diperlukan karena dengannya mufassir akan dapat mengetahui dalil-dalil sebagai pembuktian dari al-Qur’an mengenai sifat-sifat yang mustahil, wajib dan jaiz bagi Allah.
h.      Ushul Fiqh; ilmu ini sangat penting bagi mufassir dalam rangka mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya.
i.        Asbabun an-Nuzul; dengan ilmu ini, maksud ayat dapat ditemukan dengan peristiwa yang menyertainya.
j.        Ilmu Nasikh Mansukh; Ilmu ini diperlukan guna mengetahui ayat-ayat yang muhkam, sehingga seorang mufassir tidak menggunakan dalil dari ayat yang mansukh, baik segi hukum dan tilawahnya.
k.      Ilmu Fiqh; ilmu ini diperlukan karena akan dapat mengetahui pandangan-pandangan para fuqaha, termasuk metodologi intimbath al-ahkam mereka.
l.        Ilmu Hadits; ilmu ini wajib diketahui seorang mufassir agar tidak mudah terbawa oleh arus cerita Israliyat yang kadangkala tidak sesuai dengan ajaran Islam.

















0 komentar: