Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Sabtu, 10 November 2012
- Definisi Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh adalah
ilmu yang menguraikan tentang metode yang ditempuh oleh para imam mujtahid
dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dan berdasar nash pula
mereka mengambil ‘illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang
menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana yang telah dijelaskan dan diisyaratkan
oleh al-Qur’an maupun sunnah Nabi.
Sebelum membahas lebih
dalam, istilah Ushul Fiqh adalah dua kata yang digabung menjadi satu sehingga
membentuk kalimat majemuk (tarkib idhafi). Ushul Fiqh terdiri mudhaf dan mudhaf
ilaih (susunan idhafah) yang mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu,
sebelum memberikan definisi tentang Ushul Fiqh secara mendetail, terlebih
dahulu kita harus mengetahui pengertian dari lafadz Ushul yang menjadi mudhaf
dan Fiqh yang menjadi mudhaf ilaih.
Secara terminologi,
pengertian fiqh menurut para fuqaha adalah pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terinci
(mendetail). dari sini dapat diketahui bahwa Fiqh adalah hukum yang terinci
yang membahas setiap perbuatan manusia, baik itu halal, haram, makruh, mubah
dan wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian Ashl
(jamaknya Ushul) adalah dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu.
Jadi, Ushul adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh Ilmu Fiqh.
Syeikh Kamaluddin ibn
Himam di dalam tahrir memberikan definisi Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu yang
membahas tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali dan
menetapkan hukum fiqh. Dengan kata lain bahwa Usul Fiqh adalah kaidah-kaidah
yang menjelaskan tentang cara (metode) penetapan hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.
Jika seorang ahli Fiqh
akan menetapkan wajib atau tidaknya hukum sholat, maka ia mengemukakan firman
Allah surat
ar-Rum 31:
Wa
aqiimus as- sholat ( dirikanlah sholat).
Contoh lain misalnya,
yaitu yang berkaitan dengan masalah baru yang belum ada pada masa Nabi, yaitu
menetapkan hukum meminum anggur, whisky dan lain sebagainya yang memabukkan,
maka cara menetapkan hukumnya itu menggunakan Qiyas, yaitu mempersamakan hukum
suatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah
ada kedudukan hukumnya karena adanya persamaan illat atau sebab.
Maka, hukum meminum anggur
atau whisky disini dihukumi haram karena berlandaskan pada surat al-Maidah ayat 90
Innamal al-khamru wa
al-maisiru wa al-anshabu wa al-azlamu rijsum min ‘amalis as-syaithan. (sesunnguhnya meminum khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaithan.).
Dari contoh-contoh
tersebut, maka jelaslah perbedaan antara Fiqh dan Ushul Fiqh, bahwa Ushul Fiqh
merupakan metode yang harus ditempuh oleh ahli fiqh dalam menetapkan hukum
berdasarkan dalil-dalil syar’i. sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i
berdasarkan metode-metode tersebut.
- Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Hubungan Ushul Fiqh dengan
Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mantiq dengan filsafat, bahwa mantiq
merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan
dalam berfikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab, dimana
ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang dalam
menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikan juga dengan Ushul Fiqh adalah
merupakan kaidah yang memelihara para fuqaha agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengistimbathkan hukum.
- Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Dari penjelasan tentang
hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh serta perbedaan masing-masing, maka
jelas pula bahwa objek yang menjadi kajiannyapun berbeda antara ushul fiqh
dengan fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berkaitan dengan hubungan dengan
perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan ushul fiqh
adalah mengenai metode penetapan hukum-hukum tersebut.
Adapun persamaan antara
keduanya adalah sama-sama membahas tentang dalil-dalil syara’ akan tetapi
tijauannya yang berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan
hukum-hukum cabang yang berkenaan dengan perbuatan manusia. Sedangakn ushul
fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta
situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.
Disamping itu, ushul fiqh
juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ beserta tujuannya, pembagiannya,
rukhsah, ‘azimah dan lain sebagainya sebagai kategori metodologi yang digunakan
oleh ahli fiqh dalam menggali dan menetapkan hukum.
Ilmu ushul fiqh selalu
mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah SWT. Karena pada hakekatnya
yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Al-Qur’an yang
menyatakan hukum-hukum Allah terhadap manusia, sedangkan fungsi hadits sebagai
penjelas al-Qur’an, karena Rosulullah tidak menetapkan hukum menurut kemauan
hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang lain adalah merupakan cabang yang
menginduk kepada kedua sumber tersebut.
Jadi objek pembahasan ilmu
ushul fiqh ini bermuara pada hukum syara’ yang ditinjau dari segi hakekatnya,
kriterianya, dan macam-macanya. Dan metode untuk menggali hukum yakni dengan
cara berijtihad serta dalil-dalil tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan sumbernya.
- Perkembangan Ushul Fiqh
Perumusan ilmu ushul fiqh
sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu periode sahabat.
Diantaranya, Umar ibn Khattab, ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan lain
sebagainya. Yaitu ketika Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak
80 kali bagi peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum, ia akan mabuk, dan
apabila ia mabuk, maka ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar,
maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali
tersebut dapat disimpulkan bahwa beliau menggunakan kaidah menutup pintu
kejahatan yang akan timbul atau yang lebih dikenal dengan sad al-dzari’ah.
Pada masa tabi’in,
penggalian hukum syara’ semakin meluas karena begitu banyak peristiwa hukum
yang bermunculan. Banyak para ulama tabi’in yang memberikan fatwanya seperti
Sa’id ibn Musayyab (Madinah), ‘Alqamah dan Ibrahim (Irak). Sebagai dasar di
dalam memberikan fatwa, mereka menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits dan
fatwa-fatwa para sahabat. Bila mereka tidak mendapatinya di dalam nash, maka
sebagian dari mereka ada yang menempuh penetapan hukum dengan mempertimbangkan
kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.
Setelah periode tabi’in,
tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah
banyak corak dan ragamnya. Dengan demikian, bertambah pula kaidah-kaidah istimbath
dan petunjuk-petunjuknya.
Imam Abu Hanifah misalnya,
beliau membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Qur’an, hadits
dan fatwa para sahabat. Sedang untuk fatwa-fatwa yang lain yang masih diperselisihkan, ia bebas
untuk memilih salah satunya.
Sedangkan Imam Malik
memiliki metode yang jelas dengan berlandaskan pada tradisi penduduk Madinah.
Hal itu dijelaskan dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan
hadits serta kritikannya terhadap hadits yang dihubungkan kepada Nabi karena
hadits itu menurutnya menyalahi al-Qur’an.
Selanjutnya yaitu Imam
Syafi’i, seorang ilmuan bangsa Quraisy. Beliau pantas disebut sebagai orang
pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam yang
kemudian populer dengan sebutan ilmu uhul fiqh. Imam Syafi’i telah memperoleh
peninggalan hukum-hukum fiqh yang diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para
Imam yang telah mendahuluinya. Juga rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh
yang bermacam-macam, sehingga beliau memperoleh gambaran yang konkrit antara
fiqh ahli madinah yang ia pelajari dari Imam Malik, fiqh ahli Iraq yang ia pelajari dari Muhammad bin Hasan
dan fiqh ahli mekkah yang ia pelajari ketika ia berdomisili di sana, serta kecerdasannya
yang luar biasa.
Sepeninggal Imam syafi’i,
pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri
semakin berkembang. Dalam pengembangannya terlihat beberapa perbedaan arah yang
menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh. Misalnya saja kelompok ulama Hanafiyah,
mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf. Kelompok ulama
Malikiyah, mereka menambahkan maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum
berdasarkan sad al-dzara’i.
Kesimpulannya, sumber
hukum Islam ada yang disepakati para ulama dan ada yang ikhtilafi (tidak
disepakati para ulama). Adapun yang disepakati oleh para ulama adalah yang
paling pokok, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, serta sumber-sumber pokok yang
lain yaitu ijma dan qiyas. Sedangkan sumber hukum Islam yang ikhtilafi ada
beberapa macam, diantaranya: istihsan, istishab, masholihul mursalah, al-‘Urf,
syar’u man qablana, syadduz dzara’i, madzhab shohabi dan dalalatul iqtiron.
- Tujuan Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai
dari ushul fiqh adalah agar dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil
syara’ yang terinci dan hukum-hukum
tersebut dapat sampai kepada yang bersifat ‘amali. Dan agar dapat dipahami
secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan oleh para ulama mujtahid dan
bagaimana mereka dapat sampai pada rumusan itu.
Dengan mempelajari ilmu
ushul fiqh ini, diharapkan jika kita menghadapi masalah baru yang tidak kita
temukan hukumnya dalam kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari
jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah
hasil rumusan ulama yang terdahulu.
Label:
Ushul Fiqh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.