Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Sabtu, 10 November 2012


  1. Definisi Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menguraikan tentang metode yang ditempuh oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil ‘illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana yang telah dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur’an maupun sunnah Nabi.

Sebelum membahas lebih dalam, istilah Ushul Fiqh adalah dua kata yang digabung menjadi satu sehingga membentuk kalimat majemuk (tarkib idhafi). Ushul Fiqh terdiri mudhaf dan mudhaf ilaih (susunan idhafah) yang mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan definisi tentang Ushul Fiqh secara mendetail, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian dari lafadz Ushul yang menjadi mudhaf dan Fiqh yang menjadi mudhaf ilaih.


Secara terminologi, pengertian fiqh menurut para fuqaha adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail). dari sini dapat diketahui bahwa Fiqh adalah hukum yang terinci yang membahas setiap perbuatan manusia, baik itu halal, haram, makruh, mubah dan wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian Ashl (jamaknya Ushul) adalah dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu. Jadi, Ushul adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh Ilmu Fiqh.

Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam tahrir memberikan definisi Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali dan menetapkan hukum fiqh. Dengan kata lain bahwa Usul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) penetapan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.

Jika seorang ahli Fiqh akan menetapkan wajib atau tidaknya hukum sholat, maka ia mengemukakan firman Allah surat ar-Rum 31:

Wa aqiimus as- sholat ( dirikanlah sholat).

Contoh lain misalnya, yaitu yang berkaitan dengan masalah baru yang belum ada pada masa Nabi, yaitu menetapkan hukum meminum anggur, whisky dan lain sebagainya yang memabukkan, maka cara menetapkan hukumnya itu menggunakan Qiyas, yaitu mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada kedudukan hukumnya karena adanya persamaan illat atau sebab.

Maka, hukum meminum anggur atau whisky disini dihukumi haram karena berlandaskan pada surat al-Maidah ayat 90

Innamal al-khamru wa al-maisiru wa al-anshabu wa al-azlamu rijsum min ‘amalis as-syaithan. (sesunnguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan.).

Dari contoh-contoh tersebut, maka jelaslah perbedaan antara Fiqh dan Ushul Fiqh, bahwa Ushul Fiqh merupakan metode yang harus ditempuh oleh ahli fiqh dalam menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil syar’i. sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i berdasarkan metode-metode tersebut.

  1. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mantiq dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikan juga dengan Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara para fuqaha agar tidak terjadi kesalahan dalam mengistimbathkan hukum.

  1. Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Dari penjelasan tentang hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh serta perbedaan masing-masing, maka jelas pula bahwa objek yang menjadi kajiannyapun berbeda antara ushul fiqh dengan fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berkaitan dengan hubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan ushul fiqh adalah mengenai metode penetapan hukum-hukum tersebut.

Adapun persamaan antara keduanya adalah sama-sama membahas tentang dalil-dalil syara’ akan tetapi tijauannya yang berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berkenaan dengan perbuatan manusia. Sedangakn ushul fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.
 
Disamping itu, ushul fiqh juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ beserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, ‘azimah dan lain sebagainya sebagai kategori metodologi yang digunakan oleh ahli fiqh dalam menggali dan menetapkan hukum.

Ilmu ushul fiqh selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah SWT. Karena pada hakekatnya yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Al-Qur’an yang menyatakan hukum-hukum Allah terhadap manusia, sedangkan fungsi hadits sebagai penjelas al-Qur’an, karena Rosulullah tidak menetapkan hukum menurut kemauan hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang lain adalah merupakan cabang yang menginduk kepada kedua sumber tersebut.

Jadi objek pembahasan ilmu ushul fiqh ini bermuara pada hukum syara’ yang ditinjau dari segi hakekatnya, kriterianya, dan macam-macanya. Dan metode untuk menggali hukum yakni dengan cara berijtihad serta dalil-dalil tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan sumbernya.

  1. Perkembangan Ushul Fiqh
Perumusan ilmu ushul fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu periode sahabat. Diantaranya, Umar ibn Khattab, ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan lain sebagainya. Yaitu ketika Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum, ia akan mabuk, dan apabila ia mabuk, maka ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali tersebut dapat disimpulkan bahwa beliau menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau yang lebih dikenal dengan sad al-dzari’ah.

Pada masa tabi’in, penggalian hukum syara’ semakin meluas karena begitu banyak peristiwa hukum yang bermunculan. Banyak para ulama tabi’in yang memberikan fatwanya seperti Sa’id ibn Musayyab (Madinah), ‘Alqamah dan Ibrahim (Irak). Sebagai dasar di dalam memberikan fatwa, mereka menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits dan fatwa-fatwa para sahabat. Bila mereka tidak mendapatinya di dalam nash, maka sebagian dari mereka ada yang menempuh penetapan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.

Setelah periode tabi’in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan demikian, bertambah pula kaidah-kaidah istimbath dan petunjuk-petunjuknya.

Imam Abu Hanifah misalnya, beliau membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Qur’an, hadits dan fatwa para sahabat. Sedang untuk fatwa-fatwa yang  lain yang masih diperselisihkan, ia bebas untuk memilih salah satunya.

Sedangkan Imam Malik memiliki metode yang jelas dengan berlandaskan pada tradisi penduduk Madinah. Hal itu dijelaskan dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadits serta kritikannya terhadap hadits yang dihubungkan kepada Nabi karena hadits itu menurutnya menyalahi al-Qur’an.

Selanjutnya yaitu Imam Syafi’i, seorang ilmuan bangsa Quraisy. Beliau pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam yang kemudian populer dengan sebutan ilmu uhul fiqh. Imam Syafi’i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fiqh yang diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para Imam yang telah mendahuluinya. Juga rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga beliau memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqh ahli madinah yang ia pelajari dari Imam Malik, fiqh ahli Iraq yang ia pelajari dari Muhammad bin Hasan dan fiqh ahli mekkah yang ia pelajari ketika ia berdomisili di sana, serta kecerdasannya yang luar biasa.

Sepeninggal Imam syafi’i, pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Dalam pengembangannya terlihat beberapa perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh. Misalnya saja kelompok ulama Hanafiyah, mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf. Kelompok ulama Malikiyah, mereka menambahkan maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzara’i.

Kesimpulannya, sumber hukum Islam ada yang disepakati para ulama dan ada yang ikhtilafi (tidak disepakati para ulama). Adapun yang disepakati oleh para ulama adalah yang paling pokok, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, serta sumber-sumber pokok yang lain yaitu ijma dan qiyas. Sedangkan sumber hukum Islam yang ikhtilafi ada beberapa macam, diantaranya: istihsan, istishab, masholihul mursalah, al-‘Urf, syar’u man qablana, syadduz dzara’i, madzhab shohabi dan dalalatul iqtiron.

  1. Tujuan Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai dari ushul fiqh adalah agar dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci dan  hukum-hukum tersebut dapat sampai kepada yang bersifat ‘amali. Dan agar dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan oleh para ulama mujtahid dan bagaimana mereka dapat sampai pada rumusan itu.

Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh ini, diharapkan jika kita menghadapi masalah baru yang tidak kita temukan hukumnya dalam kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama yang terdahulu.











0 komentar: