Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Minggu, 24 Maret 2013
UKHUWAH ISLAMIAH DAN ETIKA AL-QUR’AN
Ukhuwah islamiah menjadi pokok
permasalahan yang cukup rumit dan kompleks. Banyak faktor yang perlu menjadi
bahan pertimbangan, banyak pula sisi pandangan yang harus dipelajari dengan
cermat, terutama yang menyangkut bidang politik, golongan, teologi dan
pemikiran hukum. Dalam mempelajari hal tersebut tentu kita harus melepaskan
diri dari keterikatan atau kecenderungan kepada politik atau kelompok tertentu
dan menilainya secara objektif, bijaksana dan dewasa sehingga penanganan
terhadap suatu masalah tidak menimbukan masalah baru yang ujung-ujungnya menimbulkan
permusuhan yang baru pula.
Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa
cita-cita moral haruslah menjadi pangkal tolak bagi setiap kegiatan politik
atau golongan. Dan semuanya ini bisa terwujudkan apabila kita mau berangkat
dari etika Al-Qur’an, bukan etika golongan, suku, politik dan warisan leluhur.
Tentang etika al-Qur’an kita dapat merujuk pada surah al-hujurat: 10,13 dan 15;
al-Nisa’: 58; al-Nahl: 90; al-Maidah: 8; al-Zumar: 18 dan al-Baqarah: 156.
Semua ayat ini mengemukakan prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan
dan toleransi yang harus dijadikan landasan utama bagi kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Tapi prinsip-prinsip ini akan tetap mengawang-awang bila mana
manusianya berkualitas rendah, dalam arti tidak punya kejujuran, bersifat
materialistik, berpikiran sempit dan bervisi dangkal.
Untuk membina ukhuwah islamiah,
masing-masing pihak harus sama-sama punya keikhlasan dan kejujuran serta sikap
kritis dalam menilai sejarah masa lampaunya dengan al-Qur’an dan al-Hadits
sejati sebagai kriterium tertinggi. Beban sejarah dalam bentuk klaim-klaim
kebenaran tentang masalah imamah dan khilafah ini akan dapat sama-sama
dilepaskan dan kemudian sama-sama kita cari dengan jujur dan bijaksana bentuk
imamah yang berangkat sepenuhnya dari pemahaman utuh kita terhadap al-Qur’an. Bukankah
nama lain dari al-Qur’an adalah al-Furqan (kriterium pembeda antara yang
haq dengan yang batil). Dalam hal ini, bila kita masih gagal dalam mencari
jalan keluar dari isyu klasik ini, maka marilah kita sama-sama jujur mengatakan
bahwa kita telah gagal dalam memahami al-Qur’an, setidak-tidaknya dalam masalah
imamah ini. Kegagalan ini barangkali berpangkal pada hawa nafsu kita yang masih
saja mau menyeret al-Qur’an kepada prakonsepsi kita yang berasal dari beban
sejarah yang jarang sekali kita nilai kembali secara jujur dan kritis.
Al-Qur’an bukanlah kitab legenda. Ia
sepenuhnya berpihak pada kejadian sejarah yang faktual. Oleh sebab itu
sumber-sumber klasik dalam penulisan sejarah Islam, baik yang ditulis oleh
al-Thabari, Ibn Sa’d dan lain-lain, dalam masalah imamah khususnya, harus
ditinjau kembali dengan kritis, jujur dan bertanggungjawab. Sebagai manusia
biasa, penulis-penulis klasik itu tidak terlepas dari kecenderungan politiknya
masing-masing, baik dari kelompok sunni atau syi’ah. dalam menghadapi
kecenderungan-kecenderungan yang saling berbenturan inilah al-Qur’an sebagai al-Furqan
mempunyai posisi yang sangat menentukan dalam mengarahkan pilihan kita. langkah
ini akan berhasil bilamana al-Qur’an tidak diambil sepotong-sepotong yang dalam
metode penafsiran, ayat satu juga menjadi penjelas bagi ayat yang lain. Selain
itu, perlu dipelajari pula asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat al-Qur’an)
dan tafsir al-Qur’an itu sendiri yang menjadi syarat mutlak untuk memahami
al-Qur’an.
Selain itu, yang perlu menjadi bahan
pertimbangan adalah sejarah, sosiologis, lingkungan serta budaya di Negara
kita. Di Negara kita terdapat beragam budaya serta lingkungan yang tidak
seluruhnya menganut agama Islam. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa kita
perlu merujuk kepada sejarah yakni pada saat Rusulullah hijrah ke Madinah. Di
Madinah sendiri pada saat itu terdiri dari suku Aus dan Khazraj serta terdapat
pula golongan Yahudi. Jadi salah satu tugas Rosulullah pada waktu itu adalah
untuk mempersatukan semua golongan yaitu dengan pembuatan piagam Madinah. Maka
piagam Madinah inilah yang menjadi landasan untuk mempersatukan semua golongan.
Hal ini bisa dijadikan penambah wawasan dalam menangani permasalahan yang ada
yaitu mengenai adanya beberapa golongan di Negara kita seperti NU, Muhammadiyah
dan lain-lain.
Penyebab Mudah Terpecahnya Umat Islam
Perpecahan di antara umat Islam,
bukan merupakan suatu gejala baru melainkan sudah tercatat oleh sejarah sejak
awal-awal perkembangan Islam. Sesungguhnya, bila kita mau belajar dari sejarah,
banyak sudah contoh yang menggambarkan tentang bagaimana sikap kita seharusnya
dalam berbeda pendapat. Sikap mudah bertengkar memang merupakan salah satu
kelemahan manusiawi, yang merupakan salah satu akibat dari ketidakmampuan
manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya. Hal inipun dapat dijadikan sebagai
indikator kekurang-dewasaan kita, baik secara emosional maupun intelektual.
Keadaan seperti ini hanya bisa diatasi bila kita mampu menundukkan segenap
prakonsepsi kita pada ruh al-Qur’an.
Kita bisa mengambil contoh suatu
peristiwa, ketika Umar r.a berselisih dengan Abu Bakar r.a tentang tindakan
yang harus dilakukan terhadap orang-orang yang tidak mau membayar zakat setelah
wafatnya Nabi s.a.w. Umar, pada awlnya tidak setuju jika mereka yang tidak mau
membayar zakat diperangi. Tetapi, ketika Abu Bakar tetap memutuskan untuk
memerangi mereka, toh Umar mengikuti keputusan ini.
Kita bayangkan bagaimana jadinya umat
Islam yang baru tumbuh itu seandainya Umar dan Abu Bakar terus bertengkar dan
berbeda pendapat. Jadi, dalam menghadapi perbedaan pendapat, kita masing-masing
harus mampu mengendalikan emosi kita, dan sekaligus mendahulukan kemaslahatan
umat secara keseluruhan.
Yang berbahaya adalah gejala yang
seperti sekarang banyak kita lihat. Orang-orang yang ilmu agamanya
sepotong-potong, ikut-ikutan memberikan cap kepada kelompok atau politik
tertentu yang mereka anggap sesat. Akibatnya dapat kita rasakan, betapa sinis
dan tidak berdasarnya ungkapan-ungkapan yang mereka lontarkan. Betapa mudah
sesama Muslim saling mengkafirkan. Padahal kalau kita mau meniru teladan dari
Rosulullah adalah bahwa beliau tidak pernah melontarkan kata-kata kasar kepada
lawan sekalipun ada di antara mereka yang sampai mencaci maki Rosulullah,
melempari beliau dengan kotoran dan bahkan ada yang sampai berencana untuk
membunuh Nabi, sekalipun demikian, beliau tetap berperilaku lemah lembut
terhadap mereka.
Bertindak atau berkata-kata kasar
seperti yang banyak terjadi saat ini, berarti telah mengambil oper, secara
tidak sadar, peranan Tuhan. Hal ini berbahaya sekali. Dan menurut saya, hal ini
pun menunjukkan adanya sikap sombong yang terselubung.
Kesimpulan : Langkah-Langkah Yang
Harus Diambil
Pokok pembicaraan kita adalah tentang
ukhuwah islamiah yang dalam tulisan ini saya ambil dasar etikanya dari
al-Qur’an. Seperti yang telah tersurat maupun tersirat, ukhuwah islamiah
hanyalah mungkin diwujudkan secara mantab bila al-Qur’an kita pahami secara
utuh dan tidak untuk sekedar memberi justifikasi terhadap prakonsepsi kita
tentang umat, yang mngkin secara tidak kita sadari berasal dari landasan
etika-golongan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus kita ambil adalah
membersihkan kecenderungan-kecenderungan batin-intelektual kita yang selama ini
mungkin didominasi oleh etika golongan, suku dan ras, dengan al-Qur’an yang
dipahami secara utuh, jujur dan bertanggungjawab. Langkah kedua adalah
kesediaan kita untuk menilai secara kritis seluruh warisan intelektual cultural
Islam melalui kritik sejarah, dengan ruh al-Qur’an di otak belakang kita. dua
langkah strategis ini memerlukan peralatan intelektual yang memadai, seperti
penguasaan bahasa arab (Nahwu-Sorrof dan lain-lain), pengetahuan
sejarah-terutama periode awal- dan penguasaan ilmu modern untuk memperkaya visi
Islam kita dalam memandang masa lampau untuk keperluan kekinian kita. dengan
langkah-langkah ini, diharapkan ukhuwah islamiah tidak saja akan tercipta di
antara golongan sunni dan syi’ah, melainkan juga akan merembet kepada iklim
persaudaraan semesta umat manusia dengan kesediaan mengakui perbedaan kita
masing-masing. Wallahu A’lam bis Showab
(Love Peaceful)
Label:
Ukhuwah Islamiah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.