Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Rabu, 20 Februari 2013
PERSAMAAN AQIDAH
SEBAGAI DASAR UKHUWAH
Ukhuwah Islamiah yang bersifat lebih luas dan mendalam
sebenarnya sudah ada. Contoh yang jelas adalah dalam kegiatan dakwah. Di
mana-mana kegiatan pengajian diadakan secara spontan. Dalam hal ini, mereka
adalah satu, meskipun dilatar belakangi oleh kehidupan yang berbeda, organisasi
serta profesi yang berbeda pula. Kegiatan dakwah yang berlangsung tidak pernah
berbicara atas nama sekte, aliran, madzhab atau golongan tertentu. Jadi,
Ukhuwah Islamiah di sini terlihat dalam aqidah, yakni yang menjadi dasar pokok
agama sebagai kredo, tercermin dalam ajaran yang bersifat integral, yaitu
tauhid. Betatapun kaum Muslimin berbeda-beda dalam hal aliran politik, sistem
pendidikan dan faham kemasyarakatan, aqidah mereka tetap satu. Sistem
peribadatan yang diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah itulah yang selalu
menjadi pegangan.
Kalaupun di kalangan umat Islam terdapat
beberapa perbedaan, maka hal itu tidak sampai menyangkut soal yang pokok,
melainkan pada penafsiran (mengenai cabang-cabang) agama. Kesemuanya ini sudah
ditampung di dalam adanya berbagai madzhab, yang tidak sampai mengganggu
kesatuan ibadah. Perbedaan yang terdapat di antara madzhab-madzhab itu yakni
meyangkut masalah hukum (fiqh), yang biasa kita sebut dengan ijtihad,
istimbath, istihsan, qias dan lain sebagainya. Semua itu tetap bermuara pada
al-Qur’an dan al-Hadits.
Ukhuwah Islamiah memang pernah
terganggu-dulu, sebelum perang Dunia Kedua-hanya karena soal ushalli, qunut,
talqin, tahlil, maulid Nabi, taqlid dan lain sebagainya. Lalu terjadi perang
tanding di mana masing-masing kelompok mengeluarkan jagoannya, berdebat dengan
lisan dan tulisan. Sesudah pertentangan semacam itu reda, kemudian belakangan
ini timbul pertentangan lain yang rasanya dicari-cari mengenai soal yang bukan
pokok, yaitu seputar masalah jilbab. Kita masih ingat, beberapa waktu yang lalu
dan bahkan sampai sekarang-di perguruan-perguruan tinggi dan di luarnya saling
kritik seputar pakaian wanita. Hal demikian ini akan merugikan dakwah Islam. Dalam
hal ini, kita bisa berpatokan pada sebuah kaidah fiqh “al-‘Adah muhakkamah”
bahwa adat/kebiasaan bisa dijadikan sumber hukum. Di Negara kita, sarung bisa
dijadikan contoh nyata yang bisa ditunjuk dengan mudah. Tidak ada universalitas
dalam pakaian sarung, namun ia secara kultural lokal telah menjadi lambang
keislaman.
Kaum muslimin sendiri harus mampu
membedakan antara apa yang benar-benar Islam yang universal, dan apa yang arab
yang lokal. Meskipun dalam praktek akan selalu ditemukan kesulitan untuk
mengidentifikasi mana yang “Islam” dan mana yang “Arab”-sehingga menjadi kontroversial-namun
jelas memang ada perbedaan antara keduanya. Contoh yang kontroversial adalah
masalah hijab sebagaimana yang telah disinggung di atas, masalah hijab telah
dijelaskan dengan sengit oleh H. Agus Salim di suatu kongres JIB (Jong
Islamieten Bond). Tetapi yang semua orang setuju ialah, secara karikatural,
sarung tersebut di atas. Sarung mengandung nilai instrinsik Islam yang
universal, yaitu kewajiban menutup aurat. Tetapi ia juga mengandung nilai
instrumental yang lokal, yaitu wujud materialnya sebagai pakaian itu sendiri.
Sebab di tempat lain, nilai Islam universal menutup aurat itu dilakukan dengan
cara yang berbeda: gamis (qamish) di Arabia, sirwal (seruwal) di
India,
dan pantolan (celana) di negeri-negeri Barat atau tempat lain yang
sedikit banyak terbaratkan. Berkenaan dengan itu, unsur-unsur budaya lokal yang
dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tentu saja, kesemuanya itu merupakan
lambang atau simbol keislaman dari segi lahiriyah keagamaan, yang berfungsi
sebagai lambang sesuatu yang lebih hakiki, yaitu ketaatan kepada Tuhan. Sedang
simbolisme tanpa substansi adalah muspra.
Fanatisme
Kelompok, Sumber Pertentangan
Semua permasalahan yang ada, sering
dikaburkan oleh pikiran dan tingkah laku kita sendiri. Karena, sadar atau
tidak, kita tidak lagi berbicara untuk kepentingan Islam, melainkan untuk
kepentingan golongan atau organisasi, bahkan sampai pada kepentingan diri kita
sendiri. Dalam hal ini, kita harus mampu menyingkirkan bahasa perasaan dan
emosi. Sudah bukan waktunya berteriak-teriak dengan bahasa-bahasa sloganitas,
bombastis dan sebagainya yang hanya enak didengar sendiri dan kelompoknya saja.
Ukhuwah Islamiah itu berarti,
pertama-tama, kita di ikat oleh rasa solidaritas, oleh muamalah antara
sesama kita – hendaknya dipergunakan
cara-cara damai dan penuh kasih sayang di antara orang-orang yang bersaudara itu.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, agar jangan saling memaki, saling
memperolok, karena semuanya itu merupakan bibit-bibit permusuhan di antara sesama
kita. bagaimana kita akan membina Ukhuwah kalau yang kita tekankan adalah titik
perbedaan di antara semua golongan, dan bukan mencari titik persamaan.
Saya berpendapat bahwa, masalah
furu’, masalah perbedaan definisi, tidak usah dilemparkan kepada masyarakat
umum, sebab hal itu hanya akan memperuncing masalah dan bukan memecahkan
masalah. Biarlah kita ber-fastabiqul khairat sesuai dengan masing-masing
kita dalam berbuat dan meninggalkan sikap saling menyalahkan. Yang perlu kita
ketengahkan ialah adanya persamaan persepsi pada setiap generasi yang sama-
sama bertumpu pada ajaran tauhid sebagai dasar pegangan.
Strategi
Perjuangan Umat Islam
Perlu kita sadari bahwa belakangan
ini umat Islam sedunia, bahkan dalam skala nasional pun, dikelompok-kelompokkan
ke dalam berbagai predikat: Islam fundamentalis, Islam ekstrem, Islam militan
dan lain sebagainya. Istilah ini sesungguhnya diciptakan oleh orang-orang di
luar Islam. Kita ikut-ikutan dan menganggapnya sebagai predikat yang gagah.
Dalam sejarahnya, Islam berkembang
secara evolusioner, dan bukan revolusioner. Demikian pula dengan penerapan
hukumnya. Bahkan al-Qur’an pun turun secara bertahap. Dalam menghadapi fenomena
ini, Rosulullah menuntun agar kalau kita berbicara, hendaknya disesuaikan
dengan orang yang kita ajak berbicara.
Itu adalah suatu isyarat, bahwa
Islam menghendaki adanya suatu evolusi yang konstan dalam membina umat. Benar,
bahwa Nabi Muhammad dalam waktu yang singkat telah berhasil membangun suatu
masyarakat Islam. Tapi, apakah dengan kekerasan? Tidak, Nabi lebih berhasil
karena akhlak dan kejujurannya. Untuk berperang, Rosul rela berhijrah
meninggalkan tanah kelahiran. Ketika masih dikejar, barulah perlawanan
dilancarkan dan terjadilah Perang Badr, Uhud, dan yang lain. Sambil bertahan, Rosulullah
tetap terus menjalankan misi dakwahnya dengan cara-cara dan strategi yang baik.
Jadi, dalam membina Ukhuwah di antara kita, marilah kita tinggalkan sikap
saling menyalahkan. Bila sejak awal kita berangkat sudah diniatkan untuk tetap
saling menghormati, maka insya Allah Ukhuwah Islamiah segera terwujud, dan
perbedaan yang ada benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Label:
Ukhuwah Islamiah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.