Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Minggu, 24 Februari 2013
Say No To Zina
Nafsu syahwat
merupakan senjata syetan yang paling kuat atas diri manusia, yang apabila nafsu
syahwat tersebut telah menguasai diri manusia, maka ia dapat membuat manusia
tersebut condong kepadanya. Seorang bijak berkata “barang siapa yang jatuh
dalam satu lubang dari urusan dunia, niscaya ia jatuh dari lubang itu”.
Sedangkan menuruti nafsu syahwat perut dan farji (kemaluan) adalah termasuk
dari bagian-bagian dunia.
Lalu apa yang
menjadi permulaan zina?. Dikisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Yahya
As. “apa dari permulaan zina?”, Nabi menjawab “memandang dan berangan-angan”.
Jadi, seseorang yang mampu menundukkan pandangannya, maka ia mampu pula menjaga
pikiran, hati serta kemaluannya. Memandang merupakan dosa kecil yang apabila
dituruti ia dapat membawa pada dosa besar yaitu zina farji (kemaluan).
Allah Swt.
jelas-jelas telah melarang berbuat zina dalam sabda-Nya :
“dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan keji dan
jalan yang teramat buruk” (Q.S. Al-Isra’ : 32)
“dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. (Q.S.
Al-Mu’minuun : 5-7)
Rosulullah
SAW bersabda :
“Tujuh
orang yang dilindungi oleh Allah pada hari kiamat dalam lindungan ‘arasy-Nya
pada hari itu tidak ada lindungan kecuali lindungan-Nya. dan terhitung termasuk
mereka, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang cantik dan
mempunyai kedudukan kepada dirinya, lalu laki-laki itu berkata : “sesungguhnya
saya takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah)
Diriwayatkan pula
bahwa seorang pemuda mendatangi Rosulullah saw. lalu ia bertanya, “ wahai
Rosulullah, maukah engkau memberikanku izin untuk berzina”, mendengar
pernyataan pemuda tersebut, para sahabat marah karena pemuda tersebut telah
berani bertanya hal demikian kepada Nabi. Nabi lalu berkata, “biarkan ia! Ke
marilah kamu!”. Pemuda itu pun mendekati Nabi. “Engkau senang kalau hal itu
terjadi pada ibumu?”, Tanya Nabi. “tidak, demi Tuhan”. “demikian pula orang
lain, mereka juga tidak senang bila hal itu terjadi pada ibu mereka”, “akankah
engkau senang hal itu terjadi pada anak gadismu?”. “juga tidak”. “demikan pula
orang lain, tidak senang hal itu terjadi pada anak gadis mereka”. Setelah
terjadi dialog tersebut dengan Nabi mencontohkan kepada perenpuan-perenpuan yang
paling dekat dengan pemuda tersebut, lalu kemudian Nabi meletakkan tangan di
dada si pemuda seraya berdo’a “ ya Allah, bersihkanlah hatinya, ampunilah
dosanya, dan jagalah kemaluannya!”. Sejak saat itu, tidak ada yang lebih
debencinya daripada perbuatan zina. (Al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir : 7.679
dan dari Abu Umamah : 7.759, nas tersebut juga diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’ Ulumiddin, III h.86).
Islam sangat
menjaga terhadap kesucian seseorang, baik itu lahir maupun batin. Itulah
mengapa dalam bab-bab fiqih yang diejelaskan pertama kali adalah bab thaharah,
agar penganutnya senantiasa menjaga kesucian baik lahir maupun batin. Zina
termasuk dosa besar yang dapat melenyapkan kehormatan dan menyebabkan kemurkaan
Allah. adapun pandangan adalah permulaan zina yang menjaganya itu penting dan
sulit, terkadang diremehkan tanpa adanya rasa takut padahal banyak bencana yang
timbul daripadanya.
Sesungguhnya
wajib mencegah diri dari perbuatan zina dengan meninggalkan memandanng dan
berangan-angan dan lain-lain yang dapat menimbulkan hasrat untuk melakukan
perbuatan zina. Kalau tidak, sehingga akal menjadi tunduk pada nafsu syahwat,
maka menjadi sulit menolaknya dan thabiat menuntut pengulangan kembali. Dalam
hal ini maka menjadi lebih sulit untuk mengobatinya.
Lukman
menasehati anaknya, “anakku, jauhilah dari berbuat zina, sebab awalnya adalah
kecemasan, akhirnya penyesalan dan setelah itu azab”. Menururti hawa nafsu
hanya akan memperoleh kesenangan yang bersifat semu yang pada akhirnya
mengakibatkan penyesalan serta menjauhkan hubungan kita dari-Nya. Kebahagiaan
dan ketenangan pada hakikatnya akan kita raih apabila kita memutuskan nafsu
syahwat dan mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela, kemudian menghadapkan
diri pada mujahadah (bersungguh-sungguh menentang hawa nafsu). Seorang bijak
berkata, “orang bodoh adalah orang yang menambah keperluan-keperluan dan
menuruti nafsu syahwatnya, sedang ia tidak mengerti bahwa ia memperbanyak
sebab-sebab kesedihan dan kesusahan”.
Di dalam ayat
yang telah di tulis di atas memerintahkan kita agar jangan mendekati zina
seperti memandang lawan jenis yang dapat menanamkan syahwat di hati,
berdua-duaan dengan lawan jenis dan lain-lain yang dapat mendorong kita kepada
perbuatan zina. Sebab bila kita terlalu menuruti hawa nafsu maka kita akan
terjebak dalam situasi yang kita sulit keluar darinya.
“kelezatan
hawa nafsu yang sudah bersarang di kalbu merupakan penyakit kronis” (Al-Hikam,
Ibn “Athaillah).
Awal kita
tercipta adalah dalam keadaan suci, lalu untuk apa kita lumuri diri dengan
dosa-dosa yang dapat merusak hubungan kita dengan-Nya, di mana rasa cinta untuk
diri sendiri?. Apabila kita menuruti nafsu syahwat, maka kita ibarat orang yang
berjuang menggapai kebahagiaan “sesaat” untuk penderitaan “seabad”. Surga
memang dikelilingi oleh tabir duniawi yang menyesatkan, godaan keindahannya
yang pada hakikatnya hanyalah kesenangan semu belaka dapat membuat kita
melupakan kenikmatan surgawi yang tiada tara.
Dalam hal ini, hendaknya kita menanamkan rasa takut kepada-Nya sebagai pukulan
dahsyat bagi syahwat dan mengisi waktu dengan segala amal taat dan segala hal
yang bermanfaat serta menyibukkan diri dengan hal-hal yang dapat mendekatkan
kita kepada-Nya.
Daftar
Pustaka :
- Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Semarang: Asy-Syifa’, 2009)
- Rahman ibn ‘Ali ibn al-Jawzi, Bahr al-Dumu’, (Jakarta: Serambi, 2007)
- Ibn ‘Athaillah, Al-Hikam, (Jakarta: Zaman, 2010)
Label:
Renungan Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.