Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Sabtu, 22 Desember 2012


Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.

Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1.      Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”

Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.
 
2.      Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”

Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.

3.      Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”

        Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.


4.      Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”

Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.

5.      Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”

Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.

6.      Kaidah Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
   hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)”

    Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira    istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.

7.      Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”

Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.


8.      Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
         “apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”

Contoh : seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua pahala.

9.      Kaidah Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”

Contoh : seseorang mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.
  
10.   Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”


Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

11.  Kaidah Kesebelas
الخروج من الخلاف مستحب
“keluar dari pertentangan itu diutamakan”

Contoh : membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu  Hanifah. Lagi pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.
  
12.  Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع ى من الرفعاقو
“menolak gugatan lebih kuat dari pada menggugat”

Contoh : untuk menjadi pemimpin memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.

13.  Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Contoh : tidak diperkenankan mengqashar atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.

14.  Kaidah Keempat Belas
الرخص لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”

Contoh : seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau mengqashar sholat.

15.  Kaidah Kelima Belas
الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut”

Contoh : seseorang ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.

16.  Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال معاد فى الجواب
“pertanyaan itu terulang dalam jawaban”

Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.

17.  Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان
“perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”

Kaidah tersebut menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.

18.  Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”

Misalnya : sholat sendirian (munfarid) di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.

19.  Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب لايترك الا لواجب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”

Contohnya : seorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu, maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya.

20.  Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa  yang haram diambilnya haram pula diberikannya”

Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan diharamkan.

21.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول لا يشغل
“sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”

Contohnya : apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.

22.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”


Contohnya : belum masuk waktunya sholat lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.

23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”

Contohnya : Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.


Daftar Pustaka : 
        -   Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam Dalam          Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011        
    - Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam : Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
       -   Majid, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008

0 komentar: