Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Sabtu, 22 Desember 2012
Kaidah-kaidah
fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang
timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi
kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan
tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh
yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam
memberikan kepastian hukum.
1.
Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil
ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus
yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami
putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang
menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan
untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak
wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan
ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi
hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku
kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada
pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan
keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan
lain-lain.
2.
Kaidah Fiqh Kedua
الايثار
بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan
orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh
mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan
pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air
suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan
mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat
dan lain-lain.
3.
Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan
yang haram.”
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk
mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan
mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan,
maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat.
Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini
dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya.
Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk
dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu
menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan
kaidah di atas.
4.
Kaidah Fiqh Keempat
التابع
تابع
“pengikut
(hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di
dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan
sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan
gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya
telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
“Pengikut itu tidak mendahului yang
diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
“dapat dimaafkan pada hal yang
mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka
wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.
Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya
harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I,
bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan
wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab
yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti
kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan
pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6.
Kaidah Keenam
الحدود تسقط
بالشبهات
“hukuman had gugur bila masih meragukan
(Syubhat)”
Contohnya :
hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan
had sebab hukumnya masih syubhat.
7.
Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو
حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama
dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika
mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas
mata kaki dalam wudhu.
8.
Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من
جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
“apabila dua perkara sejenis berkumpul serta
tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut
kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang berhadas kecil
dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka
kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang
besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan
seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama
bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua
pahala.
9.
Kaidah Kesembilan
اعمال الكلام اولى
من اهماله
“mengamalkan suatu
kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang mengatakan kepada
istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam
pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua
talak, bukan sebagai penguat talak satu.
10. Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena
keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya
dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan
binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
11. Kaidah Kesebelas
الخروج
من الخلاف مستحب
“keluar
dari pertentangan itu diutamakan”
Contoh : membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala
dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu
Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik
mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik
mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I
dan Imam Abu Hanifah. Lagi pula kedua
imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.
12. Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع
ى من الرفعاقو
“menolak
gugatan lebih kuat dari pada menggugat”
Contoh : untuk menjadi pemimpin memerlukan
persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak
memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.
13. Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص
لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contoh : tidak diperkenankan mengqashar atau menjamak
shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam perjalanan menuju
maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau lelaki yang tidak
halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.
14. Kaidah Keempat Belas
الرخص
لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”
Contoh : seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia
tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau
mengqashar sholat.
15. Kaidah Kelima Belas
الرضا
بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha
terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu
tersebut”
Contoh : seseorang ridha membeli rumah yang sudah
rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila ridha
beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.
16. Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال
معاد فى الجواب
“pertanyaan
itu terulang dalam jawaban”
Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu
terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (suami)
“apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi istri telah
berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
17. Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا
ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان
“perkataan
tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang
membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
Kaidah tersebut menetapkan bahwa
suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada
qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya, maka diamnya orang
tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya
oleh hakim, dan dia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain untuk
menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta
izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-apa ada
perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.
18. Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة
المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan
yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan
dengan tempatnya”
Misalnya : sholat sendirian (munfarid) di lingkungan
Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi
sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat
sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.
19. Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب
لايترك الا لواجب
“sesuatu
yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”
Contohnya : seorang istri berpuasa senin atau kamis,
namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu, maka
istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya.
20. Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم
استعماله حرم اتخاذه
“apa yang haram diambilnya haram pula
diberikannya”
Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak diperkenankan
seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila diberikan maka ia
termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan diharamkan.
21. Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول
لا يشغل
“sesuatu
yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan
objek perbuatan lainnya”
Contohnya : apabila seseorang telah menggadaikan
hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa menggadaikan lagi
kepada bank yang lain, atau menjualnya.
22. Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من
استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa
yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu tersebut”
Contohnya : belum masuk waktunya sholat lalu ia
sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun
puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh
pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.
23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية
الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan
yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Contohnya : Camat lebih kuat kekuasaannya dalam
wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya
daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya
daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
Daftar
Pustaka :
- Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011
- Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam :
Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002
-
Majid, Abdul, Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqih, Jakarta:
Kalam Mulia, 2008
Label:
Ushul Fiqh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.