Asmaul Husna


Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

My Calender


Rabu, 26 Desember 2012


            Selama masih berada di Makkah, Rasulullah s.a.w. dan kaum beriman pengikut beliau bersembahyang dengan menghadap ke Ka’bah dalam al-Masjid al-Haram dan ke Bayt al-Maqdis di Yerussalem. Hal itu beliau lakukan dengan cara mengambil posisi sholat di sebelah selatan Ka’bah, sehingga pada waktu bersamaan juga menghadap ke Yerussalem di sebelah utara. Tetapi setelah berhijrah ke Madinah, cara tersebut tidak bisa lagi dilakukan, karena pertentangan antara arah Makkah (selatan) dan Yerussalem (utara) dari Madinah. Karena itu Nabi s.a.w dan kaum beriman dalam bersembahyang hanya menghadap ke utara, ke arah Yerussalem.


            Berkiblat ke Yerussalem itu mengandung makna pengakuan akan kesucian kota itu dan keabsahan agama serta para nabi yang pernah muncul di sana. Maka orang-orang Yahudi merasakan adanya sedikit afinitas dengan Nabi dan kaum beriman, meskipun, karena keangkuhan, mereka tidak bersedia mengakui keabsahan agama yang dibawa Nabi.

            Jika dilihat dari sudut sejarah perkembangan monoteisme (tawhid), Makkah mempunyai makna yang lebih penting daripada Yerussalem dan jauh lebih tua. Nabi sendiri pun menyadari bahwa Makkah dengan Ka’bahnya adalah lebih dekat ke hati bangsa arab daripada Yerussalem. Oleh karena itu Nabi senantiasa memohon kepada Tuhan agar diperkenankan untuk mengubah kiblat sholat dari Yerussalem ke Makkah.

            Ketika Rosulullah atas izin dan perkenan Tuhan, akhirnya mengubah kiblat. Pada saat itu terjadilah kegaduhan di masyarakat Madinah. Beberapa kalangan dari pengikut Nabi sendiri merasa masygul dengan  perubahan kiblat itu. Kegaduhan yang lebih besar terjadi di kalangan orang-orang Yahudi Madinah, yang melihat perubahan kiblat itu sebagai skandal dan menunjukkan bahwa tidak adanya kesungguhan dalam agama Nabi, mereka kemudian mempertanyakan, apakan agama yang suka merubah kiblat seperti itu masih memiliki keotentikan. Agaknya jalan pikiran mereka mengenai masalah kiblat dalam sembahyang adalah prinsipil sekali.

            Menghadapi situasi tersebut, sungguh menarik jawaban yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, yang dengan tegas membantah premis orang Yahudi mengenai makna kiblat dalam sholat. Allah berfirman.

            Bukanlah kebajikan itu ialah bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah tumur atau pun barat! Tetapi kebajikan itu ialah bahwa seseorang beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, para malaikat, kitab-ktab suci, dan para nabi. Dan dia itu mendermakan harta-betapun cintanya kepada harta itu-untuk sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan orang yang terbelenggu. Dia itu juga menegakkan sholat dan melaksanakan zakat (atau menjaga kesucian [diri]). Dan (kebajikan itu) ialah orang-orang yang memenuhi janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang tabah dalam kesusahan atau pun kemalangan, dan dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (Q.s. Al-Baqarah : 177).

            Dari firman itu jelas sekali bahwa masalah arah menghadap dalam beribadah bukanlah hal yang sedemikian prinsipilnya sehingga harus dipandang sebagai kebajikan (al-birr)  itu sendiri. Ia hanyalah segi lahiriyah keagamaan, yang berfungsi sebagai lambang sesuatu yang lebih hakiki, yaitu ketaatan kepada Tuhan dan kesatuan pandangan hidup kaum beriman. Lambang (simbol) tidaklah dimaksudkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sehingga jika tidak dipahami dengan tepat akan berarti suatu kekosongan. Firman itu dengan jelas mengajarkan bahwa hakikat harus dicari, dan ditemukan, dibalik lambang-lambang dan bentuk-bentuk lahiriah.

            Jadi, hakikat dari taqwa adalah kesadaran diri pribadi kita dalam setiap keadaan bahwa tidak ada jalan menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya terhadap tingkah laku kita. Dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan baik itu diwaktu sepi atau ramai, di waktu malam atau siang, di waktu sendiri atau sedang berkumpul adalah mendorong kita untuk menempuh hidup mengikuti garis yang diridhai-Nya, sesuai dengan ketentuan-Nya.

            Perlu disadari pula bahwa ada kolerasi yang kuat antara taqwa dan akhlak atau budi luhur. Sehingga Nabi sendiri menegaskan bahwa “Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga ialah taqwa dan budi luhur” (hadits oleh al-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim (Buluugh al-Maraam h. 309, Hadits No. 1561). Sedangkan menyempurnakan budi luhur itu, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi sendiri, adalah tujuan akhir kerasulan beliau.

            Taqwa, yang mendasari budi luhur itu, tidak terpenuhi hanya karena ketaatan lahiriah semata, budi luhur pun tidak menghendaki formalisme yang berlebihan. Oleh karena itu diisyaratkan dalam Kitab Suci bahwa perbuatan baik, meskipun tidak akan batal karena dimanifestasikan kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik lagi jika dilakukan secara diam-diam. (lih Q.s. Al-Baqarah : 271).

             
           
           

           

           

0 komentar: