Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Rabu, 26 Desember 2012
Selama masih berada di Makkah,
Rasulullah s.a.w. dan kaum beriman pengikut beliau bersembahyang dengan
menghadap ke Ka’bah dalam al-Masjid al-Haram dan ke Bayt al-Maqdis di
Yerussalem. Hal itu beliau lakukan dengan cara mengambil posisi sholat di
sebelah selatan Ka’bah, sehingga pada waktu bersamaan juga menghadap ke
Yerussalem di sebelah utara. Tetapi setelah berhijrah ke Madinah, cara tersebut
tidak bisa lagi dilakukan, karena pertentangan antara arah Makkah (selatan) dan
Yerussalem (utara) dari Madinah. Karena itu Nabi s.a.w dan kaum beriman dalam
bersembahyang hanya menghadap ke utara, ke arah Yerussalem.
Berkiblat ke Yerussalem itu
mengandung makna pengakuan akan kesucian kota
itu dan keabsahan agama serta para nabi yang pernah muncul di sana. Maka orang-orang Yahudi merasakan
adanya sedikit afinitas dengan Nabi dan kaum beriman, meskipun, karena
keangkuhan, mereka tidak bersedia mengakui keabsahan agama yang dibawa Nabi.
Jika dilihat dari sudut sejarah
perkembangan monoteisme (tawhid), Makkah mempunyai makna yang lebih penting
daripada Yerussalem dan jauh lebih tua. Nabi sendiri pun menyadari bahwa Makkah
dengan Ka’bahnya adalah lebih dekat ke hati bangsa arab daripada Yerussalem.
Oleh karena itu Nabi senantiasa memohon kepada Tuhan agar diperkenankan untuk
mengubah kiblat sholat dari Yerussalem ke Makkah.
Ketika Rosulullah atas izin dan
perkenan Tuhan, akhirnya mengubah kiblat. Pada saat itu terjadilah kegaduhan di
masyarakat Madinah. Beberapa kalangan dari pengikut Nabi sendiri merasa masygul
dengan perubahan kiblat itu. Kegaduhan
yang lebih besar terjadi di kalangan orang-orang Yahudi Madinah, yang melihat
perubahan kiblat itu sebagai skandal dan menunjukkan bahwa tidak adanya
kesungguhan dalam agama Nabi, mereka kemudian mempertanyakan, apakan agama yang
suka merubah kiblat seperti itu masih memiliki keotentikan. Agaknya jalan
pikiran mereka mengenai masalah kiblat dalam sembahyang adalah prinsipil sekali.
Menghadapi situasi tersebut, sungguh
menarik jawaban yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, yang dengan tegas
membantah premis orang Yahudi mengenai makna kiblat dalam sholat. Allah
berfirman.
Bukanlah kebajikan itu ialah
bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah tumur atau pun barat! Tetapi kebajikan
itu ialah bahwa seseorang beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, para
malaikat, kitab-ktab suci, dan para nabi. Dan dia itu mendermakan harta-betapun
cintanya kepada harta itu-untuk sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan orang yang terbelenggu.
Dia itu juga menegakkan sholat dan melaksanakan zakat (atau menjaga kesucian
[diri]). Dan (kebajikan itu) ialah orang-orang yang memenuhi janji apabila
mereka berjanji, dan orang-orang yang tabah dalam kesusahan atau pun kemalangan,
dan dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa. (Q.s. Al-Baqarah : 177).
Dari firman itu jelas sekali bahwa
masalah arah menghadap dalam beribadah bukanlah hal yang sedemikian prinsipilnya
sehingga harus dipandang sebagai kebajikan (al-birr) itu sendiri. Ia hanyalah segi lahiriyah
keagamaan, yang berfungsi sebagai lambang sesuatu yang lebih hakiki, yaitu
ketaatan kepada Tuhan dan kesatuan pandangan hidup kaum beriman. Lambang
(simbol) tidaklah dimaksudkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sehingga
jika tidak dipahami dengan tepat akan berarti suatu kekosongan. Firman itu
dengan jelas mengajarkan bahwa hakikat harus dicari, dan ditemukan, dibalik lambang-lambang
dan bentuk-bentuk lahiriah.
Jadi, hakikat dari taqwa adalah
kesadaran diri pribadi kita dalam setiap keadaan bahwa tidak ada jalan
menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya terhadap tingkah laku kita. Dengan
kesadaran akan kehadiran Tuhan baik itu diwaktu sepi atau ramai, di waktu malam
atau siang, di waktu sendiri atau sedang berkumpul adalah mendorong kita untuk
menempuh hidup mengikuti garis yang diridhai-Nya, sesuai dengan ketentuan-Nya.
Perlu disadari pula bahwa ada
kolerasi yang kuat antara taqwa dan akhlak atau budi luhur. Sehingga Nabi
sendiri menegaskan bahwa “Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam
surga ialah taqwa dan budi luhur” (hadits oleh al-Tirmidzi dan dishahihkan oleh
al-Hakim (Buluugh al-Maraam h. 309, Hadits No. 1561). Sedangkan
menyempurnakan budi luhur itu, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi sendiri, adalah
tujuan akhir kerasulan beliau.
Taqwa, yang mendasari budi luhur
itu, tidak terpenuhi hanya karena ketaatan lahiriah semata, budi luhur pun
tidak menghendaki formalisme yang berlebihan. Oleh karena itu diisyaratkan
dalam Kitab Suci bahwa perbuatan baik, meskipun tidak akan batal karena
dimanifestasikan kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik lagi jika
dilakukan secara diam-diam. (lih Q.s. Al-Baqarah : 271).
Label:
About Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.