KEBENARAN


            Benar dan salah adalah sesuatu yang mengalir dalam kehidupan ini. Keduanya adalah seperti benang kembar yang menjalin sejarah umat manusia. Tapi dimanakah letak kemampuan kita untuk membedakan benar dan salah ?. Coba aku kemukakan begini : tidak mungkin mereka bahagia jika mereka bertindak menentang penilaian mereka yang lebih baik. Seseorang yang tahu apa yang benar akan bertindak benar. Sebab, untuk apa ia memilih menjadi tidak bahagia?. Lalu bagaimana dengan pendapatmu? Dapatkah kamu menjalin kehidupan yang bahagia jika kamu terus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuranimu ?. Tapi tunggu, jangan terburu-buru menjawabnya, biarkan suara batinmu yang menjawab pertanyaan ini, sekarang atau nanti.

            Jadi, kemampuan untuk memahami yang benar dan yang salah adalah terletak pada hati nurani. Menurutku, setiap orang dikaruniai kemampuan ini, hati nurani itu sudah ada sejak lahir. Atau bisa juga disebut dengan bisikan Ilahi dengan perantara malaikat. Tapi, apa yang disuarakan oleh hati nurani dapat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Tidak semua orang merasa bersalah jika bertelanjang atau melakukan tindakan yang kurang sopan di depan umum yang mungkin bersifat wajar menurut sebagian mereka, tetapi semua sepakat bahwa menyiksa orang lain dengan kejam bertentangan dengan hati nurani. Perlu diingat bahwa memiliki hati nurani tidak sama dengan menggunakannya. Terkadang seseorang bertindak tanpa mengindahkan moral, tapi kuyakin, seseorang itu bukan berarti tidak memiliki hati nurani, ia tentu punya, tapi entah dimana, mungkin tertutup oleh dinding yang menghalanginya dari cahaya. Demikian pula, sebagian orang tampaknya tidak mempunyai pikiran, tapi sebenarnya itu hanya karena mereka tidak menggunakannya. Coba amatilah perjalanan saudara-saudara kita yang lebih suka menipu dirinya sendiri, lebih sering pura-pura tidak tahu bahwa petunjuk Allah itu jelas, lebih memilih untuk melakukan hal-hal tolol yang mungkin mereka sesali sesudahnya, lebih suka membuat batin mereka tersiksa justru karena mereka telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan penilaian mereka yang lebih baik.

            Lalu bagaimana potensi akal terhadap kebenaran ? tentu saja akal juga mempunyai kemampuan untuk membedakan benar dan salah. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing memiliki nilai kebajikan dan inilah yang disebut dengan potensi fitrah manusia. Akal mencita-citakan kebijaksanaan, kehendak mencita-citakan keberanian dan nafsu harus dikekang agar kesopanan tetap dapat ditegakkan.




            Faktor yang berperan dalam menentukan cara berpikir seseorang adalah pendidikan, lingkungan dan jenis pengalaman yang mereka pilih sendiri. Ketiga faktor tersebut melahirkan wawasan dalam diri seseorang. Wawasan yang benar akan menuntun pada tindakan yang benar. Dan hanya orang yang bertindak benar sajalah yang dapat menjadi “orang yang berbudi luhur”. Itulah sebabnya penting sekali untuk terus belajar.

            Kita akan berhasil mencapai satu aspek kebenaran dengan bantuan akal dan bukti dari panca indra. Akan tetapi orang mudah tersesat jika hanya memercayai akal. Sebab, kebenaran akal bersifat terbatas. Iman dan wahyu jelas merupakan jalan yang pasti. Oleh sebab itu akal harus kita tundukkan pada wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits).

            Mengapa kebenaran akal bersifat terbatas ?. Akal kita sama sekali kosong sampai kita mengalami sesuatu. Selanjutnya, kita mulai mengamati sesuatu dari kejadian alam atau dari manusia itu sendiri yang kita sebut sebagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan, ia senantiasa mengambil posisi koma, langkah-langkahnya senantiasa merupakan tahap baru akan tahu. Itulah mengapa kebenaran akal bersifat terbatas. Dahulu, seorang ilmuan menemukan bahwa di dunia fisik yang dapat dirusak oleh ngengat dan karat terdiri dari unit-unit terkecil yang disebut atom. Namun pada zaman sekarang, para ilmuan telah menemukan bahwa atom dapat menjadi partikel elementer yang lebih kecil. Kita menyebut partikel elementer ini proton, neutron dan elektron. Sebab memang, di dunia indra segala sesuatu berubah dan tidak ada yang permanen. Ilmu pengetahuan semacam ini bukan tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, ini sudah ada dan dijelaskan dalam surat Az-Zalzalah ayat 7-8 dengan memakai istilah “dzarrah” dan akal telah membuktikan kebenarannya.

            Sekarang, mari kita bermain dengan akal dan hati nurani kita. Kita mencoba untuk menyeimbangkan keduanya. Agar akal sampai pada pemikiran dan tindakan yang bijaksana dan agar hati nurani menjadi bertambah benderang karenanya. Let’s back to nature. Mengapa hujan turun ? kita yang telah belajar di sekolah akan menjawabnya karena uap di awan mendingin dan memadat menjadi titik-titik air hujan yang berjatuhan ke bumi karena adanya gaya tarik bumi. Benar, tapi itu hanya akal kita yang menjawabnya, pengetahuan semacam ini masih belum menyentuh hati nurani kita.


            Untuk menggerakkan hati nurani, kita juga harus mempertimbangkan tujuan dari sebuah penciptaan ketika kita memikirkan proses-proses kejadian alam dan bahkan tujuan dari penciptaan diri kita sendiri. Kita juga harus tahu bahwa hujan turun karena ada yang memerintahkannya untuk turun dan hujan itu mengemban amanah yaitu untuk suatu tugas kehidupan. Tapi tujuan dari air atau padi atau jeruk itu bukanlah untuk menjadi makanan kita, mereka tidak mempunyai kepentingan dengan kesejahteraan kita. Kini kita membicarakan tujuan.

            Dalam perjalanan mendidik diri menjadi manusia, kita harus pandai menyeimbangkan antara kebenaran akal dan kebenaran wahyu. Sejauh mana kita membawa akal pada masalah keagamaan. Ketika kita berbuat kesalahan, maka ada dua kemungkinan, karena kita memang tidak tahu bahwa itu salah dan kedua, kita tahu bahwa perbuatan itu salah akan tetapi kita meniadakan Allah dalam diri kita dan membiarkan nafsu meguasai diri kita. Sebab memang, sejarah manusia berisi tentang pertempuran antara malaikat yang menjanjikan kebaikan, kedamaian dan apa yang sesungguhnya kekal dalam hidup ini. Sedangkan setan selalu ingin memperdaya manusia dengan menggunakan sarana hawa nafsu yang selalu mengajak pada kesenangan yang bersifat sementara. Tapi perlu diingat bahwa jiwa yang tersiksa adalah jiwa yang akalnya tidak berpikir pada faidah melainkan pada kesenangan.




(f4r4d1s4_051012)