Asmaul Husna
Ha Ana Dza
التصنيف
- About Islam (2)
- Al-Qur'an dan Al-Hadits (3)
- Bahtsul Masail (1)
- Fiqh Mawaris (1)
- Fiqih Ibadah (3)
- Keluarga Rosulullah (2)
- Perpustakaanku (3)
- Qisshoh (1)
- Renungan Perjalanan (7)
- Ukhuwah Islamiah (3)
- Ushul Fiqh (2)
Blog Archive
Followers
Diberdayakan oleh Blogger.
My Calender
Rabu, 26 September 2012
MATA’UL
AL-GHURUR
Termasuk
tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan yang tidak penting bagi
dirinya. (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah). Di tengah
dunia yang makin sekuler, di tengah kebudayaan modern yang semakin materialistik,
di tengah berbagai tantangan yang semakin menghimpit posisi kebudayaan ummat
Islam, di tengah berbagai himpitan yang semakin menghimpit, kita dihujani oleh
berbagai iklan yang memaksa kita menaiki kendaraan bernama “kesementaraan”.
Kita beralih, kita diubah, kita digiring oleh gemerlap kesementaraan itu. Kita
tidak dibiasakan untuk tergiur dan krasan duduk di atas kendaraan yang bernama
“keabadian”. Allah menyediakan kekayaan yang tidak terbatas dalam daya kreatif
hamba-hamba-Nya, pola-pola, cara, strategi sulap menyulap sehingga mata kita
menjadi rabun untuk membedakan mana yang cahaya dan mana kegelapan. Apa yang
tak wajar menjadi wajar karena kita terlalu bersifat persuasi. Apa yang buruk
lama-lama menjadi terbiasa karena kebiasaan kita yang selalu memaafkan pada
tempat yang salah. Makin lama makin menyesuaikan dengan berbagai kejahiliyahan.
Dunia jahiliyah semakin mendarah daging sehingga semakin tak terasa
kejahiliyahannya. Untuk hal ini, God knows better.
Untuk kita
yang sudah memiliki KTP, dan di KTP tersebut kita terlanjur mengidentitaskan
diri sebagai makhluk Allah yang beragama Islam, maka kita sudah harus tahu
bahwa kita dituntut untuk membaguskan keislaman kita. Salah satu caranya adalah
dengan meninggalkan sesuatu yang tidak membawa manfaat bagi diri kita, atau
bisa juga dengan meninggalkan hal-hal yang membawa mudhorot pada diri kita,
atau terserah kita saja, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana
kita bisa mempertanggungjawabkan identitas kita itu dihadapan-Nya kelak. Masing-masing
dengan pahala dan dosanya sendiri-sendiri. Tapi terkadang pusing juga oleh yang
disebut peradaban.
Dalam Islam
itu jelas, sesudah kita ditakdirkan menjadi insan, kita dianjurkan untuk
menggapai posisi ‘abdun (hamba). ‘abdun apaan? Jelas bukan ‘abdud dunya
melainkan ‘abdullah. Sesudah itu, kita dianjurkan pula untuk menggunakan
kemerdekaan hidup ini untuk menempuh maqam muslim, mu’min hingga muhsin. Untuk
mencapai maqam tersebut, kita harus tahu dan pandai memilah dan memilih mana
yang mata’ul al-ghurur (kesenangan yang memperdayakan) yang termasuk
kecenderungan nafsu dan mana yang bukan wilayahnya mata’ul al-ghurur. Baik itu
dalam arti yang luas atau dalam arti yang terbatas. Baiklah, kita mulai dari
yang paling dekat dengan diri kita, mulai dari keluarga, suami atau istri,
jabatan, tahta, wanita, handphone dengan segala isinya, laptop dengan segala
isinya hingga dunia dengan segala yang dikandung dan yang dilahirkannya. Kita
harus tahu mana yang bersifat wajib untuk kita miliki, mana yang sunnah, mana
yang mubah, mana yang makruh dan mana yang haram untuk kita miliki, untuk kita
beli, untuk kita simpan, untuk kita publikasikan, untuk kita bicarakan, untuk
kita lakukan bahkan untuk sekedar kita lintasi. Tapi sekali lagi tentang ini,
God knows better. Tentu saja kita juga tahu tentang siapa diri kita kalau kita
rajin nge-iqra’ diri kita sendiri. Tapi kita punya hobbi menipu diri sih, kita
tak sungguh-sungguh percaya pada Allah, kita terlalu takut pada yang selain
Allah. Pada akhirnya, baik disadari atau tidak kita masuk dan terjebak pada
bentuk-bentuk mata’ul al-ghurur (kesenangan yang memperdayakan) dengan cara
yang amat lihai, halus, sopan dan tidak kentara. Tapi tolong, amatilah
perjalanan kemunafikan yang terang-terangan, yang transparan yang terjadi di
sekitar kita.
Oleh
karenanya kita harus lebih berhati-hati agar kita tidak terjerembab pada
bentuk-bentuk mata’ul al-ghurur, baik yang tampak atau yang tidak tampak oleh
mata telanjang kita yang terbatas, baik yang ada dalam diri kita atau yang di
luar dari diri kita. Ini tentu saja tak luput dari peran “iblis” yang selalu
memberikan bisikan-bisikan lembut, halus dan penuh dengan kesabaran untuk
memperdaya kita. Ketika iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam,
saat itu pula iblis dikutuk oleh Allah, lalu kemudian iblis berkata : “ ya
Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan aku sesat, pasti akan aku jadikan
mereka memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi, dan pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya” (QS al-Hijr :39). Sebab iblis itu tidak pernah
putus asa dan selalu sabar untuk menggiring makhluk yang bernama manusia, dan
manusia itu adalah kita, perlahan seakan dan bahkan pasti, kita menjadi mampu
untuk mensurgakan neraka, menerakakan surga, menghalalkan yang haram, mengharamkan
yang halal, mewajibkan yang makruh, memakruhkan yang sunnah dan seterusnya
hingga jiwa kita benar-benar terkilir. Tapi mengapa malaikat yang suci bukan
buatan itu dan bahkan hanya memiliki kesucian diperintah pula oleh Allah untuk
sujud kepada Adam? Kenapa manusia ditentukan oleh Allah lebih tinggi dari
malaikat? Tak lain dan tak bukan adalah karena manusia diberi peluang untuk menuju
puncak kapasitasnya. Nilai manusia yang kita anggap paling luhur adalah
merendahkan diri, betul-betul merendahkan diri, kalau kita melakukan keburukan,
kita bilang “lho, sayakan bukan malaikat”. Bila kita melakukan kelicikan dalam
skala personal atau sistemik, dan itu kita sebut “manusiawi”. Seringkali bahkan
kita gagal memelihara “tugas kekhalifahan kita” sebagai “’abdullah”. Kita
terpeleset ke perilaku kebinatangan dan kita selalu menghibur diri “toh, saya
bukan malaikat”. Padahal, kita bisa lebih tinggi derajatnya dari malaikat,
padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan tawadhu’. Solusi jitu untuk
masalah ini adalah kita harus selalu merasa diawasi, bahwa Allah selalu melihat
gerak gerik hamba-hamba-Nya, bahkan Allah tahu isi hati setiap hamba-hamba-Nya,
dan ini merupakan tugas kesiagaan malaikat dalam mencatat.
O…..
cakrawala, kita takkan pernah kesana, hanya mengarahkan diri kesana.
Betul-betul mengarahkan diri kesana. Benar-benar menggerakkan diri menuju
ahsani taqwim (sebaik-baik makhluk) bukan asfala safilin (terendah dari yang
terendah). Benar-benar mengendalikan diri untuk tidak terjebak pada apa yang
disebut “Mata’ul al-Ghurur”. Benar-benar dan sungguh-sungguh…
اللهم اعطنى نورا وزدنى نورا واجعل لى فى قلبى نورا وفى قبرى نورا وفى سمعى نورا وفى بصرى نورا وفى شعرى وفى بشرى وفى لحمى وغظامى
"oh Allah. anugerahilah aku cahaya, tambahilah dalam hatiku cahaya, dalam kuburanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya dan dalam penglihatanku cahaya dan dalam rambutku, dalam kulitku dan tulangku". Amin....
(F4r4d1s4_270912)
"oh Allah. anugerahilah aku cahaya, tambahilah dalam hatiku cahaya, dalam kuburanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya dan dalam penglihatanku cahaya dan dalam rambutku, dalam kulitku dan tulangku". Amin....
(F4r4d1s4_270912)
Label:
Renungan Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.